Elistia, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Esa Unggul : Preposisi Kinerja Terhadap Daya Saing Organisasi
Instrumental Stakeholder Theory (IST) mempertimbangkan konsekuensi kinerja bagi perusahaan dari hubungan yang sangat etis dengan pemangku kepentingan, yang ditandai dengan tingkat kepercayaan, kerja sama, dan berbagi informasi yang tinggi. Sementara penelitian menyarankan manfaat kinerja, pertanyaan yang jelas tetap ada: Jika perlakuan pemangku kepentingan berbasis teori pemangku kepentingan instrumental sangat berharga, mengapa itu bukan cara dominan untuk berhubungan dengan pemangku kepentingan? Kami berpendapat bahwa literatur teori pemangku kepentingan instrumental yang ada memiliki tiga kekurangan yang membatasi kemampuannya untuk menjelaskan varians dalam kinerja.
- Sedikit teori yang ada seputar bagaimana manajemen pemangku kepentingan berbasis teori pemangku kepentingan yang berperan dapat memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
- Literatur sebagian besar telah mengabaikan potensi kerugian (yaitu, biaya) yang terkait dengan mengejar hubungan pemangku kepentingan semacam ini.
- Ada kekurangan teori tentang konteks di mana manfaat tambahan dari hubungan pemangku kepentingan berbasis teori pemangku kepentingan instrumental kemungkinan besar akan melebihi biaya. Sebagai kontribusi utama kami, kami mengembangkan jalur teoretis dari strategi etika relasional berbagi komunal—ditandai dengan niat untuk mengandalkan kontrak relasional, penciptaan kekayaan bersama, saling percaya dan kerja sama tingkat tinggi, dan berbagi properti bersama—ke hubungan yang erat kemampuan, yang menurut kami berharga, langka, dan sulit untuk ditiru dan, dengan demikian, merupakan sumber potensial keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Kami juga mempertimbangkan biaya potensial untuk mencapai kemampuan ini dan mengidentifikasi konteks di mana hubungan yang dihasilkan cenderung memiliki nilai bersih terbesar.
Keunggulan kompetitif berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk secara terus-menerus menciptakan nilai ekonomi lebih dari pesaing marjinal (breakeven) di pasar produknya (Peteraf and Barney, 2003). Secara khusus, kami berpendapat bahwa a Communal Sharing Relational Ethics (CSRE), ditandai dengan niat untuk mengandalkan kontrak relasional, penciptaan kekayaan bersama, tingkat kepercayaan dan kerja sama yang tinggi, dan berbagi properti secara komunal, dapat mengarah pada apa yang kita sebut “close relationship capability.” Kemampuan hubungan yang erat membantu perusahaan menciptakan lebih banyak nilai ekonomi dengan para pemangku kepentingan. Kami juga memeriksa potensi kemampuan hubungan dekat untuk menjadi langka dan sulit untuk ditiru, sehingga menjelaskan mengapa pendekatan seperti itu dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Tujuan akhir dari setiap perusahaan adalah untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Terlepas dari kepentingan fundamentalnya, ada banyak pendekatan untuk konsep keunggulan kompetitif, yang berbeda secara semantik satu sama lain, sehingga tidak ada definisi konseptual yang tepat dapat ditemukan. Namun, ada dua tren utama. Pertama yang menganggap keunggulan kompetitif sebagai kemampuan perusahaan untuk memaksakan persyaratan yang menguntungkan dalam perdagangan sementara yang kedua, menganggapnya sebagai penyebab atau faktor apa pun yang mengarahkan perusahaan ke kinerja yang lebih tinggi daripada para pesaingnya.
Resource Based Theory membantu kita untuk memahami mekanisme di mana perusahaan dapat mencapai keunggulan kompetitif menggunakan sumber dayanya untuk memposisikan diri di depan pesaing. Jika sumber daya dikendalikan oleh kelompok monopolistik, ketika semua kondisi lain tetap sama, akan mengurangi pengembalian yang tersedia bagi pengguna lain, seperti dalam kasus pemegang paten (Wernerfelt, 1984). Posisi kompetitif merupakan indikator kinerja penting lainnya (Ritala, 2012). Coopetition dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif di pasar masing-masing. Ritala (2012) berpendapat bahwa perusahaan yang berpartisipasi dalam coopetition akan meningkatkan posisi kompetitif tergantung pada tingkat coopetition. Seseorang juga dapat memperkuat posisi kompetitif mereka dengan memanfaatkan sumber dayanya (Dussauge, Garrette and Mitchell, 2000).
Konstelasi daya saing mempengaruhi kinerja perusahaan ataukah kinerja perusahaan yang mempengaruhi daya saing jawabannya adalah kinerja perusahaan yang mempengaruhi daya saing, dalam upaya perusahaan meningkatkan daya saing adalah mampu mengelola fungsi kegiatan manajemen (pemasaran, keuangan, sumber daya manusia, dan operasional) perusahaannya dengan SDM yang kompeten, kapabilitas inovasi, mampu mengatasi permasalahan dalam lingkungan internal maupun eksternal perusahaannya. Sumber daya dan kapabilitas hanya bernilai jika memiliki kemampuan untuk menghasilkan keuntungan yang luar biasa, pendekatan berbasis sumber daya adalah cara sangat efektif untuk menganalisis sumber daya dan kemampuan untuk menentukan mana yang dapat memberikan keunggulan kompetitif yang nyata bagi organisasi.
Oleh:
Elistia, SE, MM
Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Esa Unggul
Mahasiswa UNJ, Program Doktoral Ilmu Manajemen
Referensi
Dussauge, P., Garrette, B. and Mitchell, W. (2000) ‘Learning from competing partners: Outcomes and durations of scale and link alliances in Europe, North America and Asia’, Strategic management journal, 21(2), pp. 99–126.
Jones, T. M., Harrison, J. S. and Felps, W. (2018) ‘How applying instrumental stakeholder theory can provide sustainable competitive advantage’, Academy of Management Review, 43(3), pp. 371–391.
Peteraf, M. A. and Barney, J. B. (2003) ‘Unraveling the resource‐based tangle’, Managerial and decision economics, 24(4), pp. 309–323.
Ritala, P. (2012) ‘Coopetition strategy–when is it successful? Empirical evidence on innovation and market performance’, British Journal of management, 23(3), pp. 307–324.
Wernerfelt, B. (1984) ‘A resource‐based view of the firm’, Strategic management journal, 5(2), pp. 171–180.