Niken Bayu Argaheni, S.ST., M.Keb. Dosen Prodi Sarjana dan Pendidikan Profesi Bidan Universitas Sebelas Maret Surakarta : PENTINGKAH PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PENINGKATAN KETAHANAN GIZI UNTUK PENCEGAHAN STUNTING?
PENTINGKAH PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PENINGKATAN KETAHANAN GIZI UNTUK PENCEGAHAN STUNTING?
Niken Bayu Argaheni, S.ST., M.Keb.
Dosen Prodi Sarjana dan Pendidikan Profesi Bidan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ketahanan pangan menjadi sebuah kondisi pada saat semua orang mendapatkan akses baik secara fisik, sosial ataupun ekonomi untuk mendapatkan pangan bagi seluruh anggota rumah tangga. Tentunya dengan kondisi pangan yang cukup, baik secara jumlah maupun mutu, aman, beragam, bergizi, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya setempat. Konsep Ketahanan pangan (food security) mulai berkembang pada tahun 1943 ketika diadakanya conference of food and agriculture yang mencanangkan konsep secure, adequate and suitabel supply of food for everyone. Ketahanan pangan merupakan penanda kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya dalam memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, serta didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik.
Food Agricultur and Organization (FAO) tahun 2016 dan Food Insecurity and Vulnerabelity Information and Mapping System (FIVIMS) tahun 2005 menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi individu atau rumah tangga dalam menerima akses secara fisik, sosial dan ekonomi. Tujuannya untuk mendapatkan akses pangan bagi seluruh anggota rumah tangga dan tidak berisiko kehilangan keduanya dengan cukup, aman, dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
Ketersediaan pangan dapat diwujudkan melalui proses kedaulatan pangan dan penganekaragaman pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan menjadi kewajiban negara dan bangsa yang secara mandiri dalam menentukan kebijakan pangan. Kebijakan pangan dibuat untuk menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sekarang ada pergeseran pola konsumsi yang lebih memilih makanan olahan. Dari data Riskesdas tahun 2018, menyebutkan bahwa 95,5 % masyarakat Indonesia kurang mengkonsumsi sayur dan buah.
Dari segi konsumsi pangan, angka Pola Pangan Harapan (PPH) yaitu ukuran mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan penduduk Indonesia juga masih rendah, ditandai dengan masih rendahnya konsumsi sayur, buah dan pangan hewani. Dalam meningkatkan ketahanan pangan di era global, kita tidak dapat hanya bertumpu pada beras. Program pangan yang selalu terkonsentrasi pada beras akan menciptakan ketergantungan pada satu komoditi pangan pokok saja. Oleh karena itu, diversifikasi dengan meningkatkan keberagaman ketersediaan pangan, perlu selalu diupayakan. Kita juga perlu menyadarkan dan mengubah pola pikir masyarakat bahwa makan bukanlah sekedar makan nasi dan asal kenyang, melainkan harus ada keseimbangan gizi.
Sasaran utama dalam kegiatan posyandu adalah balita dan orang tuanya, ibu hamil, ibu menyusui dan bayinya, serta wanita usia subur. Pemantauan dan peningkatan ketahanan gizi melalui Posyandu diharapkan dapat menurunkan kemungkinan terjadinya stunting pada balita. Posyandu (pos pelayanan terpadu) sendiri merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh, dari, dan untuk masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya serta kesehatan ibu dan anak pada khususnya. Posyandu didirikan sebagai bagian dari pembangunan untuk mencapai keluarga kecil bahagia dan sejahtera, dilaksanakan oleh keluarga bersama dengan masyarakat di bawah bimbingan petugas kesehatan dari Puskesmas setempat. Dalam prosesnya, kegiatan posyandu juga membentuk pemberdayaan masyarakat, yang dalam hal ini mengarah kepada pemberdayaan perempuan. Penelitian dari Ayed, pada tahun 2018 menyatakan bahwa pemberdayaan ibu sangat mempengaruhi status gizi anak terutama stunting dan underweight. Dengan demikian, faktor intrinsik, terutama pendidikan dan ketrlibatan dalam masyarakat sangat disarankan untuk memberdayakan perempuan dalam mengambil keputusan sendiri. Intervensi yang bertujuan untuk memperbaiki status gizi anak harus mencakup pemberdayaan perempuan yang memasukkan peningkatan kompetensi/keahlian dimensi sumber daya manusia, sebagai bagian yang tak terpisahkan.