[otw_is sidebar=otw-sidebar-4]

Mengenang, 18 Tahun Gempa Bantul-Jogja-Klaten 27 Mei 2006 oleh Eko Wiratno Pendiri EWRC Indonesia.

[otw_is sidebar=otw-sidebar-5]
[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

KLATEN(Jaringan Arwira Media Group)– Hari ini, Senin Wage (27/05/2024), tepat 18 tahun gempa bumi melanda Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. Gempa yang berpusat di Kabupaten Bantul 27 Mei 2006 silam yang menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Pasca-gempa, masyarakat semakin waspada dan sudah siap dalam menghadapi bencana. Gempa 2006 terjadi sekitar pukul 05.53 WIB, berkekuatan 5,9 Skala Richer mengguncang bumi Bantul, Yogyakarta dan Klaten sekitar 57 detik, menghancurkan ratusan ribu rumah dan menyebabkan ribuan orang meninggal. Waktu kejadian ini penulis masih tinggal diluar kota tepatnya di Kota Tangerang, Banten. 

Dari data yang penulis dapatkan dari BPBD Bantul, jumlah korban meninggal di wilayah Bantul ada 4.143 korban tewas, dengan jumlah rumah rusak total 71.763, rusak berat 71.372, rusak ringan 66.359 rumah. Total korban meninggal gempa DIY dan Jawa Tengah bagian selatan, seperti di Klaten, tercatat mencapai 5.782 orang lebih, 26.299 lebih luka berat dan ringan, 390.077 lebih rumah roboh akibat gempa waktu itu. (Data dari Buku Bencana BPBD Klaten yang terbit Tahun 2014 menyebutkan 191.891 rumah di Klaten rusak, sebanyak 1.064 jiwa meninggal dunia dengan 18.127 jiwa mengalami luka-luka)

Pusat gempa berada di Sungai Opak di Dusun Potrobayan, Srihardono, Pundong. Mulai dari pundong dusun potrobayan sebagai titik episentrum dan jalur gempa sampai ke Klaten. Saat ini, di lokasi pusat gempa sudah berdiri tetenger atau tugu peringatan gempa Yogyakarta letaknya 300 meter dari pusat gempa yang merupakan tempuran sungai opak dan oya.

Jika warga ketakutan dan trauma kehilangan orang-orang terdekatnya karena gempa, namun para ahli sepakat bahwa bukan gempa yang membunuh manusia tetapi bangunan yang menimpa mereka. 

“Berkaca dari fenomena gempa Jogja 2006, para ahli mengingatkan bukan gempa yang membunuh manusia. Namun bangunannya. Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh. Sementara itu korban luka-luka banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa,” ungkap Dwi Daryanto, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bantul, dilansir dari laman elshinta. 

Menilik penelitian berjudul “Jurnalisme Bencana di Indonesia, Setelah Sepuluh Tahun” yang dipublikasikan oleh Muzayin Nazaruddin pada Jurnal Komunikasi Volume 10, Nomor 1, tahun 2015, secara gamblang tertulis bahwa bencana yang terjadi di Indonesia selain dari spek geologis juga aspek sosial demografis. 

Kondisi yang terjadi saat Gempa Jogja 2006 tak ada prediksi apapun sebelumnya. “Gempa bumi dapat terjadi tanpa adanya tanda-tanda pasti; dan dapat terjadi kapan pun. Teknologi ciptaan manusia belum mampu untuk memprediksi waktu gempa akan terjadi,” ujar Dr. Raditya Jati Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dilansir dari laman bnpb.go.id. 

Indonesia termasuk dalam wilayah Pasific Ring of Fire (Deretan Gunung Berapi Pasifik) yang berbentuk melengkung dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi Utara ditambah pertemuan dua lempeng tektonik dunia. 

Selanjutnya aspek sosial demografis yang sangat berperan penting pada sikap dan tindakan yang mampu meningkatkan kerentanan terhadap bencana. Keragaman budaya, etnis, agama selain menjadi kekayaan ternyata di sisi lain justru menjadi potensi bencana jika tidak dikelola dengan baik. 

Sementara kondisi Gempa Tahun 2006 kala itu benar-benar kaos, mulai dari mitigasi bencana hingga simpang siur dan hoaks muncul di mana-mana. Hal ini diungkapkan oleh salah satu Dosen Ilmu Komunikasi UII, Narayana Mahendra Prastya, yang saat itu menjadi wartawan Detik Biro Jogja. 

“Kondisi chaos di mana-mana, banyak hoaks dan pesan berantai. Karena listrik dimatikan akses berita hanya mengandalkan radio. Akhirnya banyak orang meninggalkan rumah lupa mengunci pintu, maling beraksi,” ujarnya. 

Sementara pada penelitian yang disebutkan oleh Muzayin Nazaruddin, media massa dalam menyikapi pemberitaan bencana justru cenderung menunjukkan euforia pemberitaan bencana dibandingkan mitigasi bencana dan langkah selanjutnya. 

Secara tidak langsung eksploitasi bencana sebagai “kisah satir yang menghibur” karena dianggap sebagai sumber informasi yang tak pernah kering dari nilai berita. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan masyarakat Indonesia setelah mengetahui bahwa daerah yang ditinggalinya merupakan “ladang bencana”?  

Setelah belajar dari Gempa Tahun 2006, Sumatera Barat 2009, Pidie Jaya 2016, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat 2018, dan Sulawesi Barat 2020 pihak BNPB menawarkan tiga solusi yang komprehensif.  

Pertama, pada pengelolaan risiko bencana, investasi pengurangan risiko bencana (PRB) dapat dilakukan demi upaya mitigasi bencana. Sementara sebagai upaya pencegahan maupun mitigasi bencana pada konteks wilayah yang pernah terdampak, prinsip build back better and safer menjadi sangat penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.  

Negara maju seperti Jepang, telah melakukan retrofitting pada salah satu ruang yang ada di rumah. Retrofit ini merupakan teknik melengkapi bangunan dengan memodifikasi atau membangun kembali dengan menambah bagian atau peralatan baru yang dianggap perlu karena tidak tersedia pada saat awal pembuatannya.  

Kedua, pendekatan kolaborasi pentaheliks, pentaheliks ini terdiri dari pemerintah, pakar atau akademisi, lembaga usaha, masyarakat, dan media massa memiliki peran yang luar biasa dalam penanggulangan bencana.  

Pendekatan ini akan meningkatkan aspek kewaspadaan, akses ke sumber daya, koordinasi dalam PRB maupun pemulihan, serta memperkuat pengambilan keputusan, akses komunikasi serta koordinasi saat tanggap darurat. Dalam hal ini kritik terhadap media massa agar tak hanya eksploitasi kisah kesedihan saja melainkan edukasi kepada masyarakat. 

Terakhir, pendekatan adaptasi revolusi industri 4.0. Pendekatan ini dapat berkolaborasi dengan pendekatan pentaheliks dan diharapkan terwujud inter-konektivitas. Dari proses ini akan menghasilkan big data yang dapat digunakan sebagai kajian maupun penciptaan sesuatu. End to end dari terobosan ini untuk keselamatan nyawa manusia.   

Selain tiga pendekatan tersebut, pemulihan pascabencana melalui konteks sosial juga menjadi hal penting untuk membangun resiliensi keluarga keberlanjutan hidup di tengah porak poranda pemukiman. Kekuatan gotong royong membangun kembali kehidupan pascabencana. Namun hal ini akan terwujud dengan adanya sikap kepemimpinan dan komitmen kepala daerah.(**)

[otw_is sidebar=otw-sidebar-6]
author

Author: 

Leave a Reply