Menaruh Asa dari Forum Pemimpin Dunia Oleh: Dikhorir Afnan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pekan ini, sedang berlangsung KTT G20 di Bali. Ada 19 negara plus Uni Eropa yang menjadi anggota dalam Group of Twenty ini. Forum ini sebetulnya sekuel dari G7 di tahun 1999 yang sangat getol menyuarakan isu ekonomi, mitigasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan. Di tahun 2022 ini, Indonesia menjadi presidensi setelah sebelumnya Italia menjalankan misi yang sama. Ada tiga manfaat Presidensi G20 yang menurut Menko Perekonomian RI,
Airlangga Hartarto dapat menggerakkan konsumsi domestik. Dari sisi ekonomi misalnya, Airlangga menegaskan melalui Presidensi G20, pertumbuhan PDB nasional melonjak hingga Rp7,4 triliun. Hal ini lantaran didukung pelibatan UMKM dan penyerapan puluhan ribu tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sekitar 150 event dalam helatan G20, mulai dari working group, engagement groups, dan side events lainnya.
Dari aspek pembangunan sosial, Indonesia berpeluang mendorong produksi dan distribusi vaksin menjadi
global good public. Sedangkan dari segi politik, Presidensi G20 menjadi momen untuk menunjukkan keberhasilan struktural terkait UU Cipta Kerja. Rasa bangga dan optimisme tentu sangat penting dalam menjaga asa
anak bangsa untuk terus produktif di masa krisis. Namun, fakta bahwa kondisi ekonomi dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja juga perlu menjadi perhatian serius agar negeri ini dapat tetap survive di tengah badai ekonomi yang serba
anomali mengingat pandemi Covid-19 yang sudah terjadi sejak 2020 telah mengoyak seluruh sendi perekonomian negara-negara di dunia. Kondisi perekonomian yang belum pulih dalam dua tahun terakhir itu kembali diperparah dengan adanya agresi militer Rusia ke Ukraina sehingga memicu inflasi di banyak negara.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis kajian dampak global sosial-ekonomi dari perang Rusia-Ukraina sejak awal 2022 ini. Rusia dan Ukraina menurut OECD mengisi 30 persen ekspor gandum, 20 persen jagung-terigu, fertiliser mineral, dan gas alam, serta 11 persen minyak dunia. Pasokan logam, argon, neon atau titanium sangat bergantung pada dua negara pecahan Uni Soviet ini. Di negara-negara Timur Tengah, lebih dari 50
persen total impor gandum juga mengandalkan pasokan dari Rusia dan Ukraina. Maka pantas jika perang di Ukraina telah memantik disrupsi rantai bisnis dan keuangan dunia, terutama lonjakan harga minyak, gas, dan gandum. Dengan kata lain, anggota negara-negara G20 sejatinya masih saling ketergantungan, begitu juga dengan Indonesia. Untuk itu, penting bagi Indonesia agar tidak jumawa hanya karena angka inflasinya lebih rendah dibanding Amerika maupun negara Uni Eropa. Jika negara-negara maju saja dapat mengalami krisis, bukan tidak mungkin Indonesia juga akan mengalami hal yang sama meskipun kita semua tidak berharap ancaman krisis global itu benar-benar terjadi di negeri ini. Secara teori, pandangan modernisasi terhadap kemiskinan dan keterbelakangan di negaranegara dunia ketiga disebabkan oleh faktor internal di negara itu sendiri. Paradigma ini kemudian terbantahkan oleh teori ketergantungan yang menyebut kemiskinan dan keterbelakangan sesungguhnya tidak disebabkan oleh faktor di dalam negeri, tetapi faktor-faktor eksternal dari luar negaranegara dunia ketiga.
Pada dasarnya, elemen kunci dari teori modernisasi adalah bahwa pembangunan membutuhkan bantuan negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang belajar dari perkembangan mereka sendiri. Jadi
teori ini didasarkan pada peluang untuk mencapai pembangunan yang sama antara negara maju dan negara berkembang. Masalahnya adalah saat ini negara-negara maju sendiri sedang berjuang meloloskan diri dari belenggu
krisis dan ancaman resesi yang sedang menghadang. Kondisi-kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi anggota G20. Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Anton Hendranata menyebut inflasi di beberapa negara sudah dalam tahap kronis dan abnormal. Sehingga muncul kekhawatiran perekonomian dunia mengalami stagflasi, yaitu resesi yang dibarengi inflasi tinggi. Indonesia boleh saja bersyukur karena laju inflasinya relatif lebih rendah atau sekitar 4,35 persen dibanding negara-negara Eropa dan Amerika yang saat ini hampir menembus 9 persen. Meski begitu, Indonesia harus tetap fokus terhadap upaya-upaya penyelamatan ekonomi di dalam negeri, jangan sedikit pun lengah. Sejauh ini, lonjakan angka inflasi di Indonesia masih bisa dikendalikan karena subsidi energi dari APBN yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Lalu, seberapa kuatkah APBN terus-menerus menanggung beban tersebut? Kita semua berharap Presidensi G20 ini dapat mendorong negara-negara G20 untuk melakukan aksi-aksi nyata sebagaimana yang diharapkan pula oleh Presiden Joko Widodo. Indonesia harus siap berkolaborasi dan menggalang kekuatan sehingga masyarakat dunia dapat merasakan dampak positif dari kooperasi ini. Jangan ada lagi kesan bahwa G20 hanyalah ajang seremonial belaka tanpa menghasilkan terobosan-terobosan besar yang konkret, logis dan realistis. Semoga!
Referensi:
https://www.kemenkopmk.go.id/ini-manfaat-ktt-g20-bagi-kehidupan-masyarakat
https://www.kompas.com/global/read/2022/04/20/104939970/risiko-ekonomiperang-di-ukraina-dan-tantangan-presidensi-g20-di-bali?page=all#page2.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220117173120-537-747721/3-
manfaat-presidensi-g20-bagi-indonesia
https://voi.id/bernas/202989/ancaman-inflasi-sangat-nyata-mampukahindonesia-bertahan-di-bawah-lima-persen
Related
- Prev Mengulik Kampung Botol Potret Kemiskinan yang tersentuh Inovasi dan Pemberdayaan dari Sampah menjadi Berkah. Oleh Iin Nilawati, Dosen Prodi Kebidanan D3 STIKes Sapta Bakti, Bengkulu, Mahasiswa Promosi Kesehatan Penyuluh Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
- Next Bekerja dan MengASIHi, upaya untuk membantu percepatan Pembangunan Kesehatan Oleh : Ummi Kulsum Mahasiswa Doktor Penyuluhan Pembangunan/ Pemberdayaan Masyarakat-Promkes Universitas Sebelas Maret Surakarta