Eko Wiratno (Pendiri EWRC Indonesia) : NasDem, Citra Partai, dan Daya Tekan Publik di Era Media Sosial
Keputusan Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari keanggotaan DPR RI Fraksi NasDem menjadi topik hangat di ruang publik hari ini Ahad(31/08/2025). Tidak hanya karena sosok keduanya cukup dikenal, tetapi juga karena alasan pemecatan yang menyangkut pernyataan mereka yang dianggap menyinggung perasaan rakyat.
Dalam politik modern, citra bukan sekadar tempelan, melainkan roh yang menjaga eksistensi partai. Max Weber, seorang sosiolog dan teoritikus politik, menekankan pentingnya legitimasi sebagai dasar kekuasaan. Partai politik hanya bisa bertahan jika memperoleh kepercayaan rakyat. Karena itu, saat kadernya membuat pernyataan yang dianggap melukai hati publik, NasDem terpaksa mengambil langkah tegas.
Ahmad Sahroni sebelumnya mendapat sorotan setelah menyebut “rakyat yang ingin membubarkan DPR itu tolol semua.” Pernyataan ini jelas kontras dengan semangat demokrasi, di mana rakyat adalah pemilik kedaulatan. Sementara Nafa Urbach, meski berlatar belakang selebriti, terseret kritik akibat komentarnya soal tunjangan rumah Rp50 juta yang ia anggap wajar. Bagi publik yang sedang menghadapi situasi ekonomi sulit, pernyataan itu terasa mencolok dan menambah jarak antara rakyat dan wakilnya di parlemen.
Kegagalan Representasi Politik
Teori representasi dari Hanna Pitkin menjelaskan bahwa wakil rakyat tidak hanya duduk di kursi parlemen untuk dirinya sendiri, melainkan menjadi “cermin aspirasi” publik. Begitu seorang wakil rakyat kehilangan sensitivitas sosial dan gagal memahami rasa keadilan masyarakat, maka terjadi apa yang disebut kegagalan representasi. Dalam konteks ini, NasDem tidak ingin citra partai ikut runtuh karena ulah personal kadernya.
Maurice Duverger dalam teori partai politik menegaskan bahwa salah satu fungsi partai adalah menjaga kohesi internal sekaligus elektabilitas eksternal. Maka, langkah Surya Paloh menandatangani surat pemberhentian ini bisa dibaca sebagai strategi damage control. NasDem ingin menunjukkan bahwa partai lebih berpihak pada rakyat ketimbang melindungi elit yang keliru dalam berucap.
Langkah ini juga menjadi pesan politik: partai tidak boleh hanya berfungsi sebagai kendaraan menuju kekuasaan, melainkan harus siap menegakkan disiplin internal dan menjaga moralitas publik.
Tekanan Publik sebagai Kontrol Politik
Fenomena ini menunjukkan bahwa suara rakyat, khususnya melalui media sosial, kini memiliki daya tawar besar. Kritik dan tekanan publik terhadap dua anggota DPR tersebut berperan penting mendorong lahirnya keputusan politik. Hal ini sejalan dengan teori politik partisipatif Carole Pateman, yang menekankan bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses politik bukan hanya hak, tapi juga mekanisme pengawasan terhadap elit.
Pelajaran untuk Partai dan Wakil Rakyat
Kasus Sahroni dan Nafa setidaknya memberi tiga pelajaran penting:
-
Bagi Partai: Kedisiplinan kader adalah harga mati. Satu ucapan bisa menggoyahkan citra partai secara keseluruhan.
-
Bagi Wakil Rakyat: Setiap kata yang keluar di ruang publik bukan sekadar pendapat pribadi, tetapi mencerminkan posisi politik partai. Sensitivitas sosial harus selalu diutamakan.
-
Bagi Rakyat: Suara publik terbukti efektif menjadi alat kontrol. Demokrasi hidup ketika rakyat berani bersuara dan elit politik mau mendengar.
Pemecatan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach adalah bukti bahwa politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal legitimasi moral di hadapan rakyat. NasDem mungkin kehilangan dua kader di DPR, tetapi partai ini mencoba membuktikan bahwa mereka lebih memilih menjaga hubungan dengan rakyat ketimbang mempertahankan popularitas individu.
Dalam demokrasi, kepercayaan publik adalah modal utama. Tanpa itu, partai politik hanya akan menjadi bangunan kosong yang menunggu runtuhnya waktu.
KLATEN, AHAD- 31 AGUSTUS 2025
PUKUL 14:01 WIB





