“Caleg Berdarah-darah, Komisaris Bermewah-mewah: Ironi Demokrasi Indonesia” oleh EKO WIRATNO(Pendiri EWRC Indonesia)
Menjadi anggota DPR bukanlah perkara sederhana. Jalannya tidak dimulai dari titik nol. Seorang calon legislatif (Caleg) sejak awal harus menempuh proses panjang: mendaftar melalui partai politik, melewati seleksi di KPU, hingga jauh sebelum itu membangun jaringan dan membaca kebutuhan masyarakat untuk dijadikan tema kampanye.
Ketika sudah resmi masuk daftar calon tetap, perjuangan semakin berat. Mereka bergerak maraton ke daerah konstituensi, berkunjung, bersosialisasi, sekaligus menanggung berbagai tuntutan warga. Tak jarang ada permintaan perbaikan jalan lingkungan, bantuan rumah ibadah, hingga dukungan fasilitas sosial lain—semuanya dibiayai dengan dana pribadi. Belum lagi kewajiban membiayai tim sukses, kegiatan kampanye, bahkan menghadapi budaya “amplop” dan “serangan fajar” menjelang pemilu.
Namun, apakah semua pengorbanan itu menjamin suara? Sama sekali tidak. Banyak caleg menghabiskan waktu, tenaga, dan uang dalam jumlah besar tetapi berakhir tanpa kursi. Mereka yang akhirnya berhasil duduk di Senayan adalah figur-figur yang berhasil melewati saringan mahal ini—kecuali artis atau figur publik yang lebih mudah terpilih karena popularitas.
Ironisnya, publik justru sering melontarkan kritik keras kepada anggota DPR, seolah mereka tidak berhak memperoleh gaji dan fasilitas memadai. Padahal, tanggung jawab mereka tidak ringan: membahas, menyusun, hingga mengesahkan puluhan RUU setiap tahun, sekaligus mengawasi kinerja kementerian, lembaga, dan badan negara. Sementara itu, komisaris BUMN dengan tanggung jawab relatif lebih ringan bisa menerima gaji miliaran rupiah per tahun, sebagaimana kasus Fadjroel Rachman di Waskita Karya atau Abdee Slank di Telkom.
Di sisi lain, koruptor kelas kakap yang merugikan negara hingga puluhan triliun justru tidak mendapatkan sorotan publik sekeras anggota DPR. Ada paradoks: wakil rakyat yang dipilih melalui proses demokratis dan berdarah-darah kerap dimusuhi, sementara kelompok lain yang lebih merugikan negara justru tidak mendapat tekanan sosial yang setara.
Teori dan Perspektif Baru
Fenomena ini bisa dibaca melalui beberapa teori kontemporer:
-
Biaya Demokrasi (Cost of Democracy)
Menurut Samuel Huntington, demokrasi mensyaratkan biaya partisipasi yang tinggi, terutama dalam pemilu. Di Indonesia, biaya politik tidak hanya berbentuk logistik formal, tetapi juga “biaya informal” berupa uang untuk kampanye, dukungan sosial, hingga serangan fajar. Pola ini mendorong politik transaksional. -
Teori Patronase Politik
Menurut teori patron-client, relasi antara caleg dan pemilih sering kali berbasis pada pertukaran jangka pendek (uang, bantuan) daripada visi dan misi jangka panjang. Hal ini membuat politik substantif sulit berkembang karena warga lebih menghargai bantuan instan. -
Paradox of Representation
Dalam literatur politik kontemporer, ada paradoks representasi: publik menghendaki wakil rakyat yang bersih, ideal, dan pro-rakyat, tetapi dalam praktik justru ikut melanggengkan politik uang. Rakyat ikut menjadi “produsen” politisi korup melalui tuntutan biaya tinggi di masa pemilu.
Jika ingin memiliki wakil rakyat yang benar-benar berintegritas, masyarakat juga harus mengubah paradigma. Alih-alih terjebak pada politik uang, seharusnya pemilih menilai caleg dari visi, kompetensi, dan rekam jejak. Tanpa itu, demokrasi Indonesia akan terus terjebak dalam siklus biaya politik tinggi, ekspektasi yang kontradiktif, dan delegitimasi terhadap DPR.(**)
Related
Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Antara Luka Sejarah dan Jasa Pembangunan Oleh Eko Wiratno Analis EWRC Indonesia
Stimulus Rp30 Triliun: Bisakah Efek Nyata Terasa Sebelum Akhir Tahun? Oleh Eko Wiratno Analis ekonomi dan pendiri EWRC Indonesia
Emas Batangan Antam Rp 2.596.000 per Gram, Upah Buruh Klaten Cuma Rp 2.389.872 — Ini “Logika” yang Menghina Keringat Rakyat Oleh: Eko Wiratno, Analis EWRC Indonesia
“Mereka Tak Perlu Mengalahkanmu — Cukup Membuatmu Marah” Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia
Eko Wiratno (EWRC Indonesia): Gugatan Agus Suparmanto Bisa Jadi Momentum Reformasi PPP
Meneladani Akhlak Rasulullah SAW untuk Membentuk Muslim yang Berakhlakul Karimah Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia
Masa Depan Bangsa Ada di Tangan Dosen, Tapi Gajinya Masih Jadi Lelucon oleh Eko Wiratno (Pendiri EWRC Indonesia)
Eko Wiratno (Pendiri EWRC Indonesia) : NasDem, Citra Partai, dan Daya Tekan Publik di Era Media Sosial





