[otw_is sidebar=otw-sidebar-4]

Eko Wiratno (EWRC Indonesia): Gugatan Agus Suparmanto Bisa Jadi Momentum Reformasi PPP

[otw_is sidebar=otw-sidebar-5]
[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

KLATEN(Jaringan Arwira Media Group)– Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali bergolak. Setelah pemerintah secara resmi menetapkan Muhammad Mardiono sebagai Ketua Umum yang sah, banyak yang mengira badai di tubuh partai berlambang Ka’bah itu telah reda. Nyatanya, badai itu belum benar-benar pergi. Justru, babak baru pertempuran politik kini dimulai — kubu Agus Suparmanto menolak tunduk dan siap menggugat keabsahan keputusan pemerintah yang dianggap berpihak dan sarat kepentingan politik menjelang Pemilu 2029.

Kementerian Hukum dan HAM akhirnya mengeluarkan surat keputusan (SK) yang mengesahkan kepemimpinan Muhammad Mardiono sebagai Ketua Umum PPP. Bagi sebagian kalangan, ini adalah langkah penyelamatan partai. Tapi bagi sebagian lainnya — terutama loyalis Agus Suparmanto — ini adalah bentuk intervensi politik yang kasar dan merusak marwah partai Islam tertua di Indonesia.

“Ini bukan penyelesaian, ini pengkudetaan yang dilegalkan,” ujar salah satu sumber dari internal PPP yang menolak disebut namanya. Kalimat itu menggambarkan dengan jelas betapa luka lama di tubuh PPP masih menganga lebar. Bukan sekadar soal kursi ketua umum, tetapi soal arah ideologis dan politik partai yang kian kehilangan ruh perjuangan umat.

Mantan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, bukan sosok yang mudah menyerah. Ia dengan lantang menyebut keputusan pemerintah sebagai bentuk “pembajakan politik” yang mengabaikan proses musyawarah internal. Menurut Agus, PPP bukan sekadar wadah politik, tetapi rumah perjuangan umat Islam yang kini dirampas oleh kekuatan politik yang ingin menjadikan PPP sebagai sekutu kekuasaan tanpa prinsip.

“PPP bukan milik istana. Kami bukan boneka politik siapa pun,” tegasnya dalam sebuah konferensi pers di Jakarta.

Gugatan ke pengadilan pun disiapkan. Agus dan tim hukumnya menuding Kemenkumham bertindak tidak netral, karena mengesahkan kepengurusan Mardiono tanpa mengindahkan mekanisme organisasi yang sah. Di mata kubu Agus, keputusan itu bukan solusi, tapi bentuk pembunuhan karakter politik terhadap kader yang berbeda pandangan.

Mardiono: Sang Ketua Umum yang Didukung Kekuasaan

Mardiono sendiri tampak percaya diri. Dengan dukungan pemerintah dan legitimasi hukum, ia bergerak cepat melakukan konsolidasi nasional. Dalam setiap pernyataan, Mardiono menegaskan dirinya tidak mencari kekuasaan, tapi ingin mengembalikan PPP ke jalur yang benar. Namun publik justru melihatnya berbeda: Mardiono adalah representasi kekuasaan di tubuh partai, bukan representasi aspirasi kader akar rumput.

Banyak pengamat menilai bahwa langkah Kemenkumham mengesahkan Mardiono bukan murni urusan administratif, tetapi beraroma politik kekuasaan. PPP dibutuhkan sebagai kendaraan strategis untuk mengamankan peta koalisi menjelang kontestasi 2029. Dalam kacamata politik realis, PPP hanyalah satu pion kecil dalam catur besar kekuasaan nasional.

Partai Islam yang Kehilangan Arah

PPP sejatinya lahir dari semangat perjuangan empat partai Islam — NU, Parmusi, PSII, dan Perti — yang bersatu untuk memperjuangkan aspirasi umat. Namun idealisme itu kini terkubur di bawah tumpukan konflik, kongres tandingan, dan rebutan legalitas kepemimpinan. Di tingkat akar rumput, kader bingung: siapa sebenarnya yang memimpin PPP?

Kondisi ini membuat PPP kehilangan daya tarik di mata publik. Dalam Pemilu 2024, PPP nyaris tak lolos ambang batas parlemen. Dan kini, dengan konflik baru yang mencuat, partai ini kembali terseret ke jurang krisis legitimasi. Banyak kalangan khawatir, PPP sedang berjalan menuju kehancuran politiknya sendiri.

Politik Dua Kaki dan Oportunisme Elite

Masalah utama PPP bukan hanya dualisme kepemimpinan, tapi budaya politik dua kaki yang terus dipertahankan elite partainya. Di satu sisi, mereka mengaku memperjuangkan umat. Di sisi lain, mereka bernegosiasi dengan kekuasaan untuk mempertahankan posisi dan akses politik. Hasilnya? PPP kehilangan identitas dan kepercayaan publik.

Konflik Mardiono–Agus hanyalah gejala dari penyakit lama: oportunisme politik. Selama bertahun-tahun, partai ini tidak lagi menjadi suara umat, melainkan arena tawar-menawar jabatan. Dari rezim ke rezim, PPP selalu berada di pusaran kekuasaan — tetapi jarang benar-benar membawa perubahan berarti bagi konstituennya.

Gugatan yang Bisa Mengubah Peta Politik

Gugatan Agus Suparmanto ke pengadilan bisa menjadi momentum penting. Jika pengadilan memutuskan bahwa kepengurusan Mardiono tidak sah, maka PPP akan memasuki babak paling krusial dalam sejarahnya. Namun jika gugatan itu kandas, maka praktis kubu Mardiono akan menguasai seluruh struktur partai hingga ke daerah.

Dampaknya bukan hanya bagi PPP, tapi juga bagi konstelasi politik nasional. Sebab, PPP masih memiliki basis massa Islam tradisional yang solid, terutama di Jawa. Jika konflik ini tidak diselesaikan dengan bijak, bukan tidak mungkin para kader muda dan tokoh pesantren akan membentuk partai baru yang lebih independen dan tidak tunduk pada kekuasaan.

Kebangkitan atau Kehancuran?

Banyak yang menilai bahwa babak baru ini akan menentukan masa depan PPP. Jika partai ini gagal mereformasi diri, maka bukan mustahil pada Pemilu 2029 nanti, PPP akan bernasib sama seperti partai-partai Islam lain yang tenggelam dalam sejarah. Namun jika konflik ini mampu melahirkan kesadaran baru, maka PPP bisa bangkit sebagai kekuatan moral dan politik yang kembali disegani.

Tapi, jalan menuju kebangkitan tidak akan mudah. Selama elite PPP masih sibuk memperjuangkan legalitas diri dan melupakan perjuangan umat, maka partai ini akan tetap menjadi partai tua yang kehilangan jiwa.

Umat Butuh PPP yang Tegas dan Merdeka

Di tengah derasnya politik pragmatis, umat Islam sebenarnya masih menaruh harapan kepada PPP. Harapan bahwa partai ini bisa menjadi jembatan aspirasi, bukan sekadar alat tawar-menawar jabatan. Namun harapan itu semakin menipis setiap kali konflik internal pecah.

PPP butuh sosok pemimpin yang berani menentang arus kekuasaan, bukan pemimpin yang menunggu restu penguasa. Umat menunggu figur yang bisa memulihkan marwah partai, menghidupkan kembali nilai-nilai Islam dalam politik, dan membawa PPP keluar dari jebakan kepentingan jangka pendek.

Saatnya PPP Melawan Takdirnya Sendiri

Babak baru PPP pasca penetapan Mardiono bukan akhir dari konflik — ini adalah awal dari pertarungan identitas. Pertarungan antara idealisme dan pragmatisme, antara suara umat dan suara kekuasaan. Agus Suparmanto mungkin kalah di atas kertas, tapi semangat perlawanan yang ia bawa bisa menjadi simbol perlawanan kader terhadap dominasi elite yang sudah terlalu nyaman di kursi empuk kekuasaan.

Jika PPP terus dibiarkan menjadi partai yang dikendalikan dari luar, maka sejarah akan mencatatnya sebagai partai yang mati bukan karena kalah di pemilu, tapi karena bunuh diri politik.

[otw_is sidebar=otw-sidebar-6]
author

Author: 

Leave a Reply