Stimulus Rp30 Triliun: Bisakah Efek Nyata Terasa Sebelum Akhir Tahun? Oleh Eko Wiratno Analis ekonomi dan pendiri EWRC Indonesia
Menjelang tutup tahun, pemerintah kembali menebar optimisme. Melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, stimulus ekonomi senilai Rp30 triliun akan digelontorkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan memperkuat pertumbuhan di kuartal IV 2025.
Langkah ini datang di tengah bayang-bayang ketidakpastian global, harga komoditas yang fluktuatif, serta ancaman perlambatan ekonomi di banyak negara. Stimulus diharapkan menjadi “suntikan energi” agar mesin ekonomi domestik tetap berputar.
Namun, pertanyaan kuncinya tetap sama: dengan waktu yang tersisa kurang dari tiga bulan, mungkinkah efek nyata dari stimulus ini benar-benar terasa sebelum tahun berganti?
Pemerintah menegaskan stimulus Rp30 triliun bersumber dari efisiensi anggaran kementerian dan lembaga. Sekitar 35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) akan memperoleh tambahan bantuan langsung tunai (BLT). Ada pula perluasan program padat karya, magang bagi 20.000 lulusan, serta dukungan bagi pelaku UMKM.
Nilainya memang tidak besar bila dibandingkan dengan ukuran ekonomi Indonesia. Dengan produk domestik bruto (PDB) lebih dari Rp22.000 triliun, tambahan Rp30 triliun hanya sekitar 0,13 persen dari total ekonomi. Namun, bila disalurkan dengan cepat dan tepat sasaran, efek psikologis dan sosialnya bisa jauh lebih besar daripada nilainya di atas kertas.
Stimulus seperti ini juga memanfaatkan momentum konsumsi akhir tahun. Libur Natal dan Tahun Baru selalu menjadi periode peningkatan permintaan barang dan jasa. Jika dana masuk ke kantong rumah tangga pada Oktober atau November, maka belanja masyarakat dapat meningkat, menggerakkan sektor perdagangan, transportasi, pariwisata, hingga industri makanan-minuman.
Dalam kebijakan fiskal, kecepatan sering kali lebih menentukan daripada besarnya angka. Stimulus sebesar apa pun tidak akan berdampak bila terlambat disalurkan. Dengan waktu yang terbatas, kecepatan realisasi menjadi ujian utama efektivitas kebijakan ini.
Jika penyaluran BLT, subsidi, dan program padat karya dapat terealisasi awal kuartal IV, maka efek terhadap konsumsi rumah tangga bisa langsung terlihat. Setiap tambahan pendapatan yang diterima kelompok berpenghasilan rendah umumnya langsung dibelanjakan, bukan ditabung.
Belanja itulah yang menciptakan multiplier effect—dampak berantai ke sektor usaha lain. Dari pasar tradisional hingga toko ritel, dari bengkel motor hingga warung kopi, semuanya ikut bergerak ketika daya beli meningkat.
Sebaliknya, bila penyaluran baru terjadi menjelang Desember, sebagian efek konsumsi justru akan bergeser ke awal tahun depan. Dalam skenario ini, stimulus lebih berperan menjaga stabilitas sosial daripada mengerek pertumbuhan jangka pendek.
Tidak bisa dipungkiri, tahun 2025 menjadi periode penuh tantangan. Tekanan harga bahan pokok, ketidakpastian lapangan kerja, serta suku bunga tinggi masih membayangi rumah tangga. Dalam situasi demikian, stimulus fiskal bisa berfungsi sebagai “penyangga rasa aman.”
Tambahan BLT dan program padat karya bukan hanya soal angka ekonomi, tapi juga pesan kepercayaan. Pemerintah ingin menunjukkan bahwa negara hadir dan peduli terhadap kesejahteraan warganya. Efek kepercayaan semacam ini sering kali memperkuat optimisme konsumen, yang pada gilirannya turut menggerakkan roda ekonomi.
Namun, pemerintah tetap harus menjaga keseimbangan. Kenaikan konsumsi tanpa peningkatan pasokan dapat memicu inflasi, terutama menjelang libur panjang. Karena itu, sinergi antar kementerian dan lembaga sangat dibutuhkan agar pasokan pangan, transportasi, serta energi tetap terjaga.
Efek Terukur dan Tantangan
Sejumlah ekonom memperkirakan bahwa stimulus Rp30 triliun ini berpotensi menambah pertumbuhan ekonomi sekitar 0,1–0,2 persen poin. Angka ini tampak kecil, tetapi dalam konteks perlambatan global, tambahan sekecil itu bisa menjadi penentu apakah pertumbuhan tetap di atas 5 persen atau tergelincir di bawahnya.
Meski demikian, efek nyata di lapangan sangat bergantung pada kualitas implementasi. Bila penyaluran tersendat atau tidak tepat sasaran, maka dampaknya bisa memudar. Sebaliknya, bila dana benar-benar sampai ke kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan membelanjakan cepat, efeknya akan terasa bahkan dalam hitungan minggu.
Tantangan berikutnya ialah menjaga akuntabilitas. Pengawasan publik harus diperkuat agar dana stimulus tidak bocor atau digunakan di luar sasaran. Transparansi menjadi kunci agar kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal tetap terjaga.
Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam menggunakan stimulus fiskal sebagai penopang ekonomi. Saat krisis global 2008 maupun pandemi 2020, kebijakan serupa terbukti efektif mencegah kontraksi yang lebih dalam.
Namun, pengalaman itu juga mengajarkan satu hal penting: stimulus hanya efektif bila menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Bantuan tunai menjaga konsumsi, tetapi tidak menciptakan produktivitas baru. Program padat karya menyerap tenaga kerja, namun belum tentu meningkatkan kompetensi.
Agar stimulus kali ini tidak sekadar menjadi konsumsi sesaat, pemerintah perlu memastikan kesinambungan. Program pelatihan kerja, dukungan terhadap UMKM, dan insentif investasi harus berjalan paralel agar momentum ekonomi tidak berhenti di akhir tahun.
Pada akhirnya, kebijakan fiskal tidak sekadar berbicara tentang besar kecilnya angka, tetapi tentang arah dan keberpihakan. Rp30 triliun memang tidak akan mengubah wajah ekonomi secara drastis, tetapi bisa menjadi simbol komitmen negara untuk tetap menjaga kesejahteraan rakyatnya.
Dalam jangka pendek, stimulus ini mungkin tidak mengubah statistik secara mencolok. Namun, bagi jutaan keluarga penerima bantuan, efeknya bisa sangat nyata: dapur yang tetap mengepul, cicilan yang terbayar, dan rasa aman yang terjaga.
Jika kepercayaan publik terbangun, maka stimulus bukan hanya menggerakkan konsumsi, tetapi juga menumbuhkan harapan. Dan dalam ekonomi modern, harapan adalah energi yang tak kalah penting dari uang.
Apakah efek nyata stimulus Rp30 triliun bisa terasa sebelum akhir tahun? Jawabannya: ya, bisa—dengan catatan pelaksanaan cepat, tepat, dan transparan. Dampaknya mungkin tidak spektakuler, tetapi cukup untuk menjaga ritme pertumbuhan dan stabilitas sosial di masa penuh ketidakpastian.
Ke depan, tantangan lebih besar adalah memastikan bahwa setiap stimulus menjadi pijakan menuju kemandirian ekonomi, bukan sekadar tambalan sementara. Karena pada akhirnya, kekuatan sejati sebuah ekonomi tidak hanya diukur dari besarnya anggaran, melainkan dari seberapa kuat ia menumbuhkan kepercayaan, kerja, dan harapan rakyatnya.(**)