Ironi Negeri 287 Juta Jiwa, Tapi Doktornya Hanya 69 Ribu: Eko Wiratno Ungkap Ketimpangan Intelektual Indonesia
Indonesia adalah negeri besar dengan penduduk lebih dari 287 juta jiwa. Kita bangga menjadi demokrasi terbesar ketiga di dunia, punya bonus demografi, dan menjadi pusat ekonomi digital Asia Tenggara. Namun, di balik kebanggaan itu, ada satu fakta yang membuat dahi berkerut: jumlah lulusan S3 (doktor) di Indonesia hanya sekitar 69.209 orang per 2024. Artinya, kurang dari 0,024 persen dari total populasi.
Bandingkan dengan Jepang yang memiliki lebih dari 750.000 doktor aktif, atau Amerika Serikat dengan lebih dari 4 juta pemegang gelar Ph.D.. Di negeri-negeri maju, gelar doktor bukan sekadar simbol akademik — melainkan mesin inovasi, sumber riset, dan motor peradaban.
Di Indonesia? Gelar doktor masih sering dianggap “puncak gengsi”, bukan “puncak kontribusi”.
Doktor Jadi Langka, Padahal Bonus Demografi Sudah di Depan Mata
Bayangkan, Indonesia sedang menuju masa keemasan bonus demografi.
Namun, siapa yang akan memimpin arah riset, inovasi, dan kebijakan ketika rasio doktor hanya 2 orang dari setiap 10.000 penduduk?
Kita kekurangan tenaga peneliti, dosen ahli, dan pemikir kebijakan yang lahir dari kultur ilmiah.
Padahal, revolusi industri 4.0 dan AI menuntut knowledge workers — bukan sekadar manual workers.
Ironisnya, di saat negara lain berlomba melahirkan doktor muda lewat sistem beasiswa agresif, Indonesia masih sibuk berdebat soal UMK, bansos, dan politik identitas.
Kita lupa bahwa kekuatan bangsa tidak ditentukan oleh jumlah influencer di TikTok, tapi oleh kualitas otak peneliti di laboratorium dan ruang kuliah.
Angka yang Membuat Miris
Data dari Dataloka.id mencatat jumlah lulusan S3 di Indonesia pada 2024 hanya 69.209 orang.
Jawa Barat mendominasi dengan jumlah doktor terbanyak, disusul DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, rasio ini sangat kecil — bahkan lebih kecil dari rasio pengangguran terbuka!
Menurut Kompas.com (2024), total warga Indonesia lulusan S2 dan S3 hanya 0,5 persen dari usia produktif.
Artinya, dari 1000 orang produktif, hanya 5 orang yang pernah mencicipi ruang riset akademik tingkat tinggi.
Sisanya? Terjebak dalam sistem kerja tanpa riset, tanpa inovasi, tanpa daya pikir ilmiah.
Kenapa Indonesia Minim Doktor?
Ada tiga akar masalah besar yang membuat lulusan S3 kita tersendat:
-
Biaya studi tinggi, hasil tak sebanding.
Banyak mahasiswa S3 harus mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk biaya studi dan riset, sementara prospek karier setelah lulus tidak jelas.
Menjadi dosen pun gajinya tidak jauh beda dari pekerja kantoran biasa. -
Budaya ilmiah yang lemah.
Riset sering dianggap “pelengkap administratif” untuk kenaikan jabatan, bukan kebutuhan intelektual.
Banyak kampus lebih sibuk menumpuk laporan daripada membangun laboratorium. -
Minim dukungan negara dan industri.
LPDP memang hebat dalam memberi beasiswa, tetapi skala penerima masih kecil dibanding potensi 270 juta penduduk.
Sementara industri belum punya kebiasaan membiayai riset doktoral seperti di negara maju.
Jangan Salah, Doktor Itu Bukan Elit – Mereka Investasi Bangsa
Menjadi doktor bukan soal gelar, tapi soal kontribusi pemikiran.
Satu doktor bisa menghasilkan riset yang berdampak sosial, teknologi, dan ekonomi.
Namun di Indonesia, lulusan doktor sering tersesat — dihimpit birokrasi, dipinggirkan oleh sistem politik, bahkan dilecehkan oleh budaya pragmatis yang lebih menghormati selebgram daripada ilmuwan.
Bayangkan kalau dari 69 ribu doktor yang ada, setiap orang memimpin satu proyek inovasi desa, maka akan ada 69 ribu desa yang naik kelas menjadi desa riset.
Tapi jika mereka semua menganggur, maka yang kita panen hanyalah ironi: negara besar tanpa pemikir besar.
Menuju Indonesia 2045: Doktor Harus Jadi Pilar Peradaban
Visi Indonesia Emas 2045 mustahil tercapai tanpa brain power.
Negara-negara maju tak mungkin berdiri karena “niat baik”, tapi karena keberlimpahan otak-otak jenius yang dilatih melalui pendidikan tinggi.
Untuk itu, ada tiga hal mendesak:
-
Negara wajib menaikkan investasi riset minimal 2% dari APBN.
Saat ini Indonesia hanya di bawah 0,3% — jauh tertinggal dari Korea Selatan (4,9%) dan Jepang (3,3%). -
Kampus harus membuka akses S3 yang lebih merata dan aplikatif.
Jangan hanya teori — tapi riset yang menjawab persoalan lapangan: kemiskinan, pangan, energi, lingkungan. -
Perusahaan wajib mengadopsi doktor dalam manajemen inovasi.
Doktor bukan hanya untuk kampus, tapi juga untuk pabrik, startup, dan pemerintahan daerah.
Ketika Bangsa Tak Menghargai Intelek
Jika Indonesia ingin dihormati, kita tak bisa terus menggantungkan diri pada sumber daya alam.
Kita harus melahirkan sumber daya akal.
Namun jika hanya 0,024% penduduk bergelar doktor, maka kita sedang menyiapkan masa depan tanpa pemikir.
Dan tanpa pemikir, tidak ada peradaban yang bisa bertahan lama.
Indonesia butuh lebih banyak doktor — bukan untuk menambah gelar di belakang nama, tapi untuk menyelamatkan masa depan di depan bangsa.
📚 Daftar Pustaka:
-
Dataloka.id. (2024). Jumlah Doktor di Indonesia 2024: Jawa Barat Terbanyak.
https://dataloka.id/humaniora/3685/jumlah-doktor-di-indonesia-2024-jawa-barat-terbanyak -
Kompas.com. (2024, Maret 10). Direktur LPDP: Jumlah Warga Indonesia Lulusan S2-S3 Hanya 0,5 Persen.
https://www.kompas.com/edu/read/2024/03/10/112825171 -
Dailynotif.com. (2024). Provinsi dengan Lulusan S3 Terbanyak di Indonesia.
https://www.dailynotif.com/pendidikan/87714888402