[otw_is sidebar=otw-sidebar-4]

Ketika Kursi Lebih Berharga dari Janji: Mengapa Oknum Dewan Gemar Berbohong Oleh: Eko Wiratno Analis EWRC Indonesia

[otw_is sidebar=otw-sidebar-5]
[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Di ruang demokrasi Indonesia, kebohongan bukan lagi kejutan; ia telah menjadi kebiasaan yang dipelihara. Dari panggung kampanye hingga ruang sidang parlemen, publik berkali-kali disuguhi janji manis yang kemudian menguap begitu surat suara selesai dihitung. Pertanyaannya: mengapa para anggota dewan begitu mudah berbohong?

Jawabannya tidak sederhana, tetapi pola yang muncul sangat jelas: sistem politik kita justru memberi insentif kepada kebohongan, bukan integritas.

Pertama, mari bicara soal ongkos politik. Maju sebagai calon legislatif membutuhkan modal besar: spanduk, logistik kampanye, biaya saksi, tim bayangan, hingga “bantuan sosial kilat” menjelang pemilu. Semua itu bukan gratis. Banyak caleg terpilih terpaksa fokus pada satu hal: mengembalikan modal. Pada fase ini, janji rakyat menjadi nomor sekian. Tidak heran, begitu dilantik, orientasi berubah bukan pada pengawasan anggaran, tetapi akses proyek. Kalau sistem menuntut pengembalian modal, maka kebohongan adalah strategi bertahan hidup.

Kedua, kultur patronase. Banyak politisi naik bukan karena kompetensi atau gagasan, tetapi karena kedekatan dengan elite partai. Maka, loyalitas pun terdistorsi. Seorang anggota dewan lebih takut mengecewakan ketua partai dibanding mengecewakan konstituennya. Akibatnya, janji kontrak politik dengan rakyat hanya menjadi ornamen kampanye. Kebohongan muncul karena ada pihak lain yang lebih layak dilayani: patron, bukan publik.

Ketiga, ketiadaan mekanisme evaluasi janji kampanye. Tidak ada sanksi formal bagi legislator yang gagal menepati janji. Tidak ada tabel kinerja, tidak ada indeks realisasi komitmen, dan tidak ada publikasi wajib bagi capaian legislasi. Di tengah kegelapan data, kebohongan mudah disembunyikan. Yang penting retorika, bukan realisasi.

Keempat, publik sendiri menjadi bagian dari masalah. Banyak pemilih masih terjebak pada politik transaksional. Ketika suara dihargai dengan beras, uang amplop, dan bantuan sesaat, kualitas legislator menjadi korban. Kita memilih aktor yang pandai menebar senyum dan slogan, bukan mereka yang mampu membaca tata anggaran. Jika masyarakat puas dengan kepalsuan, politisi tidak akan berhenti memproduksinya.

Kelima, kultur media yang dangkal. Skandal politik meledak hari ini, hilang besok. Pemberitaan hanya sensasi, tanpa pendalaman struktural. Tanpa tekanan jangka panjang dari media, legislator tidak belajar dari kesalahan. Tidak ada insentif untuk jujur, karena tidak ada risiko sosial ketika berbohong.

Keenam, partai politik acap kali menuntut iuran kursi. Legislator wajib menyetor dana bagi kegiatan partai. Sebagian di antaranya kemudian mencari peluang melalui mark-up perjalanan dinas, kegiatan seremonial, hingga proyek reses. Semua praktik ini diawali satu hal: kebohongan tentang motif dan tujuan.

Ketika publik marah, legislator menenangkan dengan pernyataan normatif: “kami menyerap aspirasi,” “kami memperjuangkan rakyat.” Kalimat-kalimat ini bukan refleksi, tetapi mantra untuk meredam kritik. Sebuah kebohongan yang direpetisi pelan-pelan menjadi kebenaran versi publik.

Berikut angka kepercayaan publik terhadap lembaga negara versi survei Indikator:

1. TNI : 85,7%
2. Presiden : 82,7%
3. Kejaksaan Agung: 76%
4. DPD: 75,1%
5. MPR: 74,1%
6. MA: 73,7%
7. Pengadilan: 73,3%
8. KPK: 72,6%
9. Polri: 72,2%
10. DPR: 71%
11. Parpol: 65,6%

(https://news.okezone.com/read/2025/05/27/337/3142420/survei-indikator-tni-dan-presiden-jadi-lembaga-paling-dipercaya-publik?page=2)

Ironisnya, tidak semua anggota dewan demikian. Ada yang bekerja keras: turun ke dapil, menyusun naskah akademik, memperkuat legislasi, menolak proyek fiktif. Tetapi mereka minoritas. Suara mereka tenggelam dalam lautan teater politik.

Lantas, bagaimana mengubahnya?

Masalah tidak berhenti pada enam faktor tersebut. Ada lapisan persoalan yang lebih dalam.

Ketujuh, persoalan minimnya literasi politik di tingkat akar rumput. Banyak warga hanya mengenal fungsi anggota dewan sebagai “pemberi bantuan” atau “pembangun jalan desa”. Paradigma ini keliru, namun dibiarkan bertahun-tahun. Legislator memanfaatkannya untuk berbohong tentang kewenangan mereka, seolah semuanya bisa disulap dengan tanda tangan. Padahal tugas utama DPR/DPRD adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Kekeliruan ini menjadi ruang abu-abu yang subur bagi manipulasi retorika.

Kedelapan, fenomena politik pencitraan. Ruang digital melahirkan budaya foto seremonial: membagikan sembako, memegang cangkul, bersalaman dengan petani, tetapi tanpa solusi kebijakan yang konkret. Politisi tahu algoritma lebih cepat mengerek popularitas dibanding kerja substantif. Maka yang dijual bukan kinerja, tetapi citra. Publik yang lapar sensasi akhirnya ikut merayakan kebohongan berjamaah.

Kesembilan, struktur politik internal partai bersifat oligarkis. Keputusan penting tidak diambil di forum terbuka, melainkan ruang tertutup elitis. Anggota dewan hanya “penyambung keputusan”, bukan pengambil keputusan. Ketika aspirasi publik bertabrakan dengan kepentingan elite partai, kebohongan menjadi kompromi paling aman.

Kesepuluh, ada mentalitas survival: selama masa jabatan lima tahun, yang terpenting adalah mempertahankan kekuasaan dan jaringan. Fungsi legislasi sering dijadikan formalitas. Laporan rapat didesain “indah”, padahal isi ruangannya kosong. Kebohongan administratif menjadi produk birokrasi yang dianggap normal.

Di sisi lain, birokrasi pemerintahan pun tidak steril. Kadang birokrat berjalan searah dengan kebohongan untuk alasan pragmatis: demi kelancaran anggaran, demi keamanan jabatan, atau demi memuaskan atasan. Budaya kompromi ini menciptakan ekosistem pembenaran perilaku politisi.

Tak jarang, kebohongan politisi justru disponsori konstituen. Saat warga lebih mementingkan proyek titipan daripada kebijakan regulatif, lahirlah politisi transaksional. Rakyat menuntut fasilitas pribadi, bukan perbaikan sistem. Akhirnya politisi ikut larut dalam paradoks: rakyat meminta sesuatu yang hanya bisa diberikan lewat kebohongan.

Pertanyaannya sederhana: siapa yang salah?
Politisi? Publik? Media? Sistem partai?
Jawabannya: semuanya.

Ini bukan drama tunggal, tetapi orkestra kepalsuan.

Namun, solusi tetap ada.

Pertama, transparansi digital wajib diterapkan: aktivitas rapat, perjalanan dinas, penggunaan dana aspirasi, semuanya bisa dipublikasikan real-time.

Kedua, evaluasi janji kampanye harus menjadi syarat pencalonan kembali.

Ketiga, pendanaan partai harus direformasi agar tidak menggantungkan diri pada legislator.

Keempat, media harus bergeser dari drama ke data, dari gosip ke pengawasan, dari sensasi ke akurasi.

Kelima, publik wajib menyadari bahwa amplop adalah narkotik demokrasi: candu yang membuat kita rela dibohongi berkali-kali.

Terakhir, ada hal yang lebih esensial: moralitas individu. Sistem bisa diawasi, partai bisa diatur ulang, namun tanpa modal etika personal, parlemen hanya menjadi gedung mahal berisi aktor konglomerasi kepentingan.

Demokrasi bukan hanya prosedur; ia adalah kepercayaan publik. Dan kepercayaan yang hancur adalah bencana yang paling sulit dipulihkan. Sekali masyarakat muak, ruang dialog hilang, dan populisme ekstrem menjadi alternatif yang mengerikan.

Hari ini, kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki. Tetapi jika kebohongan terus menjadi budaya, maka generasi mendatang akan mewarisi demokrasi yang rapuh—yang hanya kuat dalam suara kampanye, tetapi rapuh dalam substansi.

Parlemen seharusnya menjadi rumah nurani, bukan panggung dagelan.
Politisi seharusnya menjadi negarawan, bukan komedian.

Akhirnya, kita harus mengingat satu hal:

Politisi akan berhenti berbohong ketika kita berhenti membiarkannya.
Dan kebohongan politisi tidak hanya menghancurkan kepercayaan publik, tetapi juga masa depan bangsa.

Selama kursi kekuasaan dianggap lebih berharga daripada kepercayaan rakyat,
kebohongan akan terus menjadi bahasa resmi parlemen.

[otw_is sidebar=otw-sidebar-6]
author

Author: 

Leave a Reply