Masa Depan Bangsa Ada di Tangan Dosen, Tapi Gajinya Masih Jadi Lelucon oleh Eko Wiratno (Pendiri EWRC Indonesia)
Mari jujur: masa depan bangsa ini sepenuhnya ada di tangan dosen. Mereka yang mengajar, meneliti, dan melahirkan generasi penerus bangsa. Tapi ironinya, gaji mereka masih lebih sering jadi bahan lelucon ketimbang bukti keseriusan negara. Bagaimana mungkin kita berharap pendidikan tinggi maju kalau “arsitek peradaban” digaji seperti buruh kontrak?
Dosen: Pilar Bangsa yang Terlupakan
Dosen bukan hanya pengajar di kelas. Mereka mendidik calon pemimpin bangsa, meneliti solusi untuk masalah nasional, dan mengabdi pada masyarakat. Tugas mereka jauh lebih berat dari sekadar membaca slide presentasi.
Namun sayang, penghargaan negara tidak sebanding dengan peran itu. Gaji rata-rata dosen negeri berkisar Rp 6–12 juta. Dosen swasta di banyak daerah bahkan ada yang hanya digaji Rp 2–3 juta. Jumlah ini kalah jauh dibanding karyawan perusahaan rintisan yang baru lulus kuliah.
Beban Berat, Upah Murah
Jangan bayangkan dosen hanya bekerja di kelas. Mereka harus:
-
Mengajar minimal 12 SKS per semester.
-
Meneliti dan menulis publikasi ilmiah.
-
Membimbing skripsi, tesis, disertasi.
-
Melayani pengabdian masyarakat.
-
Mengurus administrasi kampus.
Beban ini sering membuat dosen bekerja jauh lebih dari 8 jam sehari. Ironinya, semua itu dihargai dengan gaji yang bahkan tak cukup untuk biaya hidup layak di kota besar.
Dibanding Negara Tetangga
Indonesia selalu bermimpi jadi negara maju, tapi mari bandingkan:
-
Malaysia: dosen pemula bergaji Rp 13–20 juta.
-
Singapura: dosen start dari Rp 55 juta per bulan.
-
Amerika Serikat: profesor bisa Rp 90–150 juta per bulan.
Di Indonesia? Profesor senior masih ada yang hanya mendapat Rp 10 juta. Lalu kita berani bicara “World Class University”? Sungguh lelucon.
Bahaya Jika Gaji Dosen Tak Ditingkatkan
-
Brain Drain: akademisi muda berbakat kabur ke luar negeri.
-
Mutu pendidikan jeblok: dosen sibuk mencari tambahan di luar kampus.
-
Martabat profesi runtuh: dosen dipandang tak lebih dari pekerja murah.
-
Indonesia Emas 2045 hanya wacana: tanpa dosen berkualitas, mimpi besar tinggal mimpi.
Rp 17 Juta: Bukan Mewah, Tapi Wajar
Mengapa minimal Rp 17 juta per bulan?
-
Biaya hidup keluarga di kota besar rata-rata Rp 15 juta.
-
Beban kerja dosen setara profesional bergaji tinggi.
-
Angka ini masih di bawah standar Malaysia dan Singapura, tapi cukup menjaga martabat dosen di Indonesia.
Rp 17 juta bukan angka fantastis. Itu adalah standar minimal agar dosen bisa hidup layak dan fokus mendidik generasi bangsa.
Solusi: Berani atau Tidak?
Pemerintah sebenarnya mampu. Tinggal berani atau tidak.
-
Alokasikan anggaran pendidikan 20% APBN untuk kesejahteraan dosen, bukan hanya gedung dan proyek.
-
Berikan subsidi khusus untuk kampus swasta.
-
Terapkan sistem berbasis kinerja agar dosen produktif mendapat penghargaan layak.
-
Dorong kerja sama industri agar dosen punya insentif tambahan.
Kita suka bicara soal mimpi besar: Indonesia Emas, generasi unggul, universitas kelas dunia. Tapi semua itu omong kosong kalau dosen masih diperlakukan seperti pekerja murah.
Sudah saatnya negara berhenti menjadikan gaji dosen sebagai lelucon. Rp 17 juta per bulan adalah standar minimal, bukan hadiah. Tanpa itu, masa depan bangsa ini hanya akan jadi dongeng politik yang tak pernah nyata.(**)