Berikut 7 Kesalahan Logika Dalam Debat yang Sering Tak di Sadari Tapi Merusak Akal!
Dalam buku Logical Fallacies: The Fallacy Detective karya Nathaniel dan Hans Bluedorn, disebutkan bahwa banyak orang menggunakan kesalahan berpikir dalam argumen bukan karena ingin menipu, tapi karena tidak sadar sedang melakukannya. Ini berarti kesalahan logika bukan hanya milik politisi atau influencer, tapi bisa terjadi dalam percakapan sehari-hari bahkan saat kamu merasa sedang sangat masuk akal.
Seorang teman bilang, “Kamu kritik pemerintah? Emang kamu bisa jadi presiden?”
Kamu tersentak. Seolah-olah kritik hanya sah kalau kamu punya jabatan. Lalu kamu diam, bukan karena kalah argumen, tapi karena bingung kenapa percakapan tadi tiba-tiba melenceng jauh dari isu utama.
Inilah salah satu bentuk logical fallacy atau kekeliruan berpikir dalam debat.
Kesalahan logika tidak membuat suara jadi lebih keras, tapi sering membuat argumen tampak lebih kuat dari yang seharusnya. Ini sering dipakai sadar atau tidak untuk menghindar dari substansi, menyerang pribadi, atau menciptakan kabut dalam pembicaraan.
Berikut tujuh kesalahan logika yang sering muncul dalam debat, dijelaskan berdasarkan buku The Fallacy Detective (Bluedorn), Being Logical (D.Q. McInerny), serta Logically Fallacious (Bo Bennett).
1. Ad hominem: menyerang pribadi, bukan ide
Contoh: “Kamu gak layak ngomong soal pendidikan, toh kamu sendiri DO kuliah.”
Masalahnya bukan siapa yang bicara, tapi apa yang dibicarakan. Menyerang karakter orang untuk menjatuhkan argumen adalah taktik malas pikir.
2. Strawman: menyederhanakan lalu menyerang versi lemah dari lawan bicara
Contoh: “Oh jadi kamu anti polusi? Mau balik ke zaman batu ya?”
Orang yang melawan polusi bukan berarti anti kemajuan. Tapi strawman sengaja mendistorsi lawan agar tampak bodoh.
3. Red herring: mengalihkan isu dengan topik lain yang tampaknya relevan
Contoh: “Kita lagi bahas korupsi anggaran, kenapa kamu jadi ngomongin moral anak muda?”
Ini taktik pengalih perhatian agar fokus pembicaraan bergeser dari yang tidak nyaman.
4. False dilemma: memaksa pilihan seolah hanya ada dua padahal banyak opsi lain
Contoh: “Kalau kamu gak dukung kebijakan ini, berarti kamu gak cinta negara.”
Ini cara menekan lawan agar memilih salah satu dari dua ekstrem. Padahal, posisi tengah pun bisa valid.
5. Slippery slope: menakut-nakuti dengan akibat ekstrem yang belum tentu terjadi
Contoh: “Kalau kita izinkan kritik di media, nanti rakyat bisa jadi liar dan negara hancur.”
Logika ini memanfaatkan ketakutan, bukan bukti.
6. Appeal to popularity: menganggap sesuatu benar karena banyak yang setuju
Contoh: “Mayoritas percaya teori ini. Masak kamu lebih pintar dari orang banyak?”
Banyak orang percaya bukan berarti itu benar. Kebenaran tidak ditentukan lewat jumlah suara.
7. Begging the question: memakai kesimpulan sebagai alasan
Contoh: “Kita tahu dia pemimpin buruk karena dia tidak pantas memimpin.”
Kalimat ini berputar di tempat. Tidak memberi alasan, hanya mengulang klaim dengan kata berbeda.
Kesalahan logika bukan sekadar masalah teknis debat. Ini soal kebiasaan berpikir. Jika kita terbiasa memakai logika keliru, kita tidak sedang berdiskusi—kita sedang mempertahankan ego sambil merusak akal sehat orang lain.
Orang yang berpikir jernih tidak perlu menang debat. Ia hanya butuh argumen yang tahan uji.
Mengenali kesalahan logika bukan untuk menyerang lawan bicara, tapi untuk menjaga pembicaraan tetap bermutu dan terhormat.(**)








