[otw_is sidebar=otw-sidebar-4]

Promosi Jabatan: Antara Drama, Pencitraan, dan Integritas Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia

[otw_is sidebar=otw-sidebar-5]
[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Dunia kerja sering kali berjalan di luar akal sehat. Mereka yang paling nyaring memuji atasan bisa melesat lebih cepat daripada mereka yang benar–benar memahami pekerjaannya. Kedengarannya pahit, tetapi terlalu sering terjadi untuk dibiarkan. Di kantor, integritas kerap dikalahkan oleh kecerdikan bersilat lidah, dan kecerdasan teknis tenggelam oleh kelihaian membaca selera kekuasaan.

Riset dari Organizational Behavior and Human Decision Processes Journal menyebutkan bahwa karyawan yang mahir melakukan ingratiation atau mencari muka, memiliki peluang promosi 38 persen lebih tinggi dibanding mereka yang mengandalkan kompetensi murni. Artinya, banyak organisasi lebih peka terhadap simbol loyalitas dibanding substansi kemampuan. Dunia profesional tidak selalu logis, karena kekuasaan sering dibungkus oleh dramaturgi relasi.

Contoh jelasnya terpampang di depan mata: pegawai disiplin justru tak terlihat, sementara mereka yang lihai merangkai pujian melaju mulus ke atas struktur jabatan. Fenomena ini tak hanya menghantui birokrasi, tapi juga korporasi dan lembaga pendidikan. Pertanyaannya: apakah cara bertahan di dunia kerja adalah dengan menjilat? Jawabannya: tidak. Yang diperlukan adalah kemampuan membaca medan sosial tanpa mengorbankan jati diri.

Berikut tujuh perspektif untuk menjaga kewarasan di tengah panggung absurditas kantor.

1. Terima bahwa dunia kerja bukan panggung meritokrasi murni

Banyak orang frustrasi bukan karena organisasi kejam, tetapi karena ekspektasi mereka terlalu polos. Organisasi adalah arena kepentingan, bukan mesin perhitungan objektif. Mereka yang hanya bersandar pada skor teknis kerap dianggap kaku. Di era ini, kemampuan bersosialisasi sama pentingnya dengan kecerdasan.

2. Bedakan menjilat dengan diplomasi

Menjilat adalah menyerahkan prinsip demi pujian murahan. Diplomasi adalah seni menyampaikan gagasan tanpa membakar jembatan. Kritik frontal mungkin benar, tapi jika disampaikan dengan cara yang salah, ia menjadi bumerang. Taktik berbicara bukan munafik—itu tanda kecerdasan komunikatif.

3. Jangan iri pada mereka yang naik lewat jalan licin

Kemurkaan tidak meningkatkan nilai siapa pun. Kenaikan yang ditopang pujian palsu biasanya hanya bertahan sampai reputasi menagih utang. Mereka mungkin menang cepat, tapi tumbang perlahan. Reputasi adalah juri yang paling sabar.

4. Bangun kekuatan dari kedalaman pikiran, bukan tampilan

Ketika dunia sibuk mempertontonkan pencitraan, mereka yang sibuk mengasah kapasitas justru sedang menyiapkan pondasi kekuatan jangka panjang. Orang yang mampu berpikir sistematis akan relevan bahkan ketika permainan sosial berubah arah.

5. Baca politik organisasi tanpa ikut menebar racun

Berpikir kritis bukan berarti anti-politik. Politik kantor adalah peta kepentingan—pelajari, tidak perlu larut. Orang yang cerdas tahu kapan diam, kapan bertanya, kapan bergerak. Mereka tidak mudah dipancing dan tidak terbakar emosi.

6. Jadikan integritas sebagai senjata paling langka

Integritas mungkin lambat, tapi efeknya panjang seperti gema. Mereka yang naik lewat madah manis biasanya kehilangan wibawa begitu krisis datang. Pemimpin dengan karakter kuat mungkin tidak populer di awal, tetapi dihormati di akhir permainan.

7. Gunakan logika sebagai benteng menghadapi kekuasaan yang absurd

Tidak perlu sinis untuk melihat keganjilan. Tertawakan absurditas dengan kepala dingin. Kadang, diam lebih mematikan daripada seribu kata. Reputasi yang dibangun dari konsistensi perlahan menjadi fondasi kepercayaan.

Penting dipahami: organisasi sering mengglorifikasi performa, namun yang diberi hadiah justru pencitraan. Ketika kemampuan teknis tidak diimbangi kecerdasan interpersonal, talenta berkualitas tenggelam oleh simbol loyalitas.

Pierre Bourdieu menyebut adanya “modal simbolik” dalam dunia sosial. Percepatan karier sering ditentukan persepsi, bukan kemampuan. Maka orang-orang berbakat akhirnya memilih silent resignation: mundur perlahan dari panggung konyol yang memuja kepatuhan semu.

Namun dunia kerja tetap menyisakan panggung bagi mereka yang kuat secara substansi, komunikatif, sekaligus bermoral. Tanda dari profesional sejati adalah tetap menjadi manusia, bukan topeng.

Karena pada akhirnya, jabatan hanyalah kursi. Yang menentukan nilai kita adalah karakter. Yang naik karena pujian murahan akan jatuh karena kehampaan. Tapi yang berdiri di atas kompetensi akan dipanggil kembali ketika badai datang.

Dunia kerja bukan sekadar memanjat tangga karier—tetapi bagaimana kita memastikan tidak berubah menjadi sosok yang kita kritik.(**)

[otw_is sidebar=otw-sidebar-6]
author

Author: 

Leave a Reply