Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia dan Gerakan Literasi Digital Akademik
1. Pendahuluan: Tokoh yang Lahir dari Zaman Perubahan
Di tengah arus globalisasi dan transformasi digital yang kian cepat, kebutuhan akan literasi, riset, dan penguasaan teknologi menjadi semakin mendesak. Indonesia, dengan jumlah mahasiswa dan akademisi yang terus meningkat, membutuhkan tokoh-tokoh visioner yang mampu menjembatani teori dengan praktik, serta pengetahuan dengan keterampilan. Dalam konteks inilah, hadir Eko Wiratno, pendiri EWRC Indonesia (Eko Wiratno Research & Consulting), yang telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan riset, pendidikan, dan literasi digital.
Eko Wiratno tidak sekadar mendirikan sebuah lembaga, melainkan melahirkan sebuah gerakan intelektual. Melalui EWRC, ia berusaha membangun ruang kolaborasi untuk mahasiswa, peneliti, dan praktisi, sehingga mereka dapat berkembang dengan dukungan metodologi yang tepat, keterampilan teknologi, dan jejaring ilmiah yang luas.
2. Biografi Singkat dan Latar Belakang
Eko Wiratno dikenal sebagai sosok yang konsisten dengan dunia pendidikan dan riset. Latar belakang akademiknya yang kuat berpadu dengan semangat sosial, membuatnya peka terhadap persoalan yang dihadapi mahasiswa maupun akademisi: kesulitan dalam analisis data, lemahnya keterampilan menulis ilmiah, hingga keterbatasan dalam mengakses teknologi analisis modern.
Menyadari hal tersebut, ia mendirikan EWRC Indonesia dengan tujuan bukan hanya sebagai konsultan riset, tetapi juga wadah pemberdayaan literasi akademik. Visi besarnya adalah mencetak generasi peneliti yang tidak hanya mampu menghasilkan karya ilmiah berkualitas, tetapi juga memiliki kesadaran literasi digital sebagai fondasi menghadapi persaingan global.
3. Landasan Teoretis Gerakan EWRC
Kiprah Eko Wiratno dapat dijelaskan melalui sejumlah teori akademik yang relevan:
-
Teori Human Capital (Gary Becker, 1993) – Menekankan bahwa investasi pada pendidikan, keterampilan, dan pengetahuan akan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah individu. EWRC menjadi bentuk nyata investasi human capital di Indonesia.
-
Teori Literasi Digital (Gilster, 1997) – Menguraikan bahwa literasi digital tidak sekadar mampu menggunakan teknologi, tetapi juga keterampilan kritis dalam menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi informasi. EWRC menanamkan semangat ini melalui pelatihan software analisis data, publikasi, dan gerakan menulis.
-
Teori Knowledge Society (Peter Drucker, 1999) – Menunjukkan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat berbasis pengetahuan. EWRC berkontribusi membangun knowledge society Indonesia dengan memfasilitasi transfer pengetahuan antar mahasiswa, peneliti, dan dosen.
4. Kontribusi dan Manfaat Nyata EWRC Indonesia
Gerakan yang dibangun Eko Wiratno melalui EWRC Indonesia telah melahirkan banyak manfaat, baik di tingkat individu maupun institusional:
-
Pemberdayaan Akademisi dan Mahasiswa
Banyak mahasiswa S1, S2, hingga S3 terbantu dalam mengolah data, memahami metodologi, dan menyelesaikan karya ilmiahnya. -
Penguatan Budaya Menulis dan Publikasi
EWRC mendorong munculnya penulis-penulis muda yang berani menerbitkan buku, menulis artikel opini, hingga mengirimkan hasil penelitian ke jurnal nasional maupun internasional. -
Penguasaan Software Riset
EWRC mengajarkan berbagai software penting seperti SPSS, AMOS, Lisrel, SmartPLS, EViews, NVivo, hingga R dan Python, sehingga mahasiswa tidak lagi gagap menghadapi analisis data. -
Gerakan Literasi Digital
Melalui berbagai pelatihan, seminar, dan forum diskusi, EWRC menanamkan kesadaran bahwa literasi digital adalah kebutuhan pokok di era saat ini. -
Peningkatan Daya Saing Akademik
Dengan dukungan metodologi riset yang solid, banyak mahasiswa dan dosen mampu menghasilkan karya ilmiah yang diakui secara nasional maupun internasional.
5. EWRC sebagai Gerakan Kultural
Lebih dari sekadar lembaga konsultan, EWRC Indonesia yang dipimpin oleh Eko Wiratno telah berkembang menjadi gerakan kultural. Mengapa? Karena EWRC tidak hanya memengaruhi cara mahasiswa menyelesaikan tugas akademiknya, tetapi juga membangun budaya belajar, budaya menulis, dan budaya literasi.
Dalam perspektif teori budaya (Raymond Williams, 1981), kebudayaan adalah praktik hidup sehari-hari yang membentuk pola pikir masyarakat. EWRC berperan membentuk budaya ilmiah—sebuah kultur baru di kalangan mahasiswa Indonesia yang berorientasi pada literasi, riset, dan kolaborasi.
6. Refleksi dan Harapan
Kiprah Eko Wiratno sebagai pendiri EWRC Indonesia adalah bukti nyata bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Ia telah menunjukkan bahwa dengan komitmen pada literasi dan riset, Indonesia bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kritis, kreatif, dan adaptif.
Dalam jangka panjang, keberadaan EWRC diharapkan dapat menjadi role model lembaga riset mandiri di Indonesia, sekaligus mitra strategis pemerintah dalam mendorong peningkatan kualitas penelitian dan pendidikan.(**)
7. Penutup: Inspirasi bagi Generasi Muda
Eko Wiratno adalah contoh nyata dari pemimpin intelektual yang tidak berhenti pada gagasan, tetapi melangkah pada aksi nyata. Melalui EWRC, ia mewariskan semangat bahwa literasi dan riset adalah kunci kemajuan bangsa.
Generasi muda Indonesia perlu meneladani sosok ini, dengan terus berani belajar, meneliti, dan menulis. Sebab, sebagaimana dikatakan Nelson Mandela: “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” (**)









![“Kenapa Harga Emas Antam Tak Pernah Turun? Sebuah Analisis Ekonomi” Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia] “Kenapa Harga Emas Antam Tak Pernah Turun? Sebuah Analisis Ekonomi” Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia]](https://yogyakampus.com/wp-content/uploads/ktz/af8d107d-aaa5-4258-927e-521789e52f61-3ner73svzgvwqvgwbr9yx6.jpeg)