Buruh Klaten Terjepit Inflasi: Ini Prediksi Kenaikan UMK 2026 Menurut Eko Wiratno (EWRC Indonesia)
KLATEN(Jaringan Arwira Media Group)- Upah Minimum Kota (UMK) Klaten yang dinilai masih jauh dari kata layak membuat banyak buruh harus memutar otak demi bisa bertahan hidup. Pendapatan resmi dari pekerjaan utama tidak lagi cukup menutup kebutuhan dasar, apalagi kebutuhan mendadak. Situasi ini memaksa sebagian buruh mengambil dua bahkan tiga pekerjaan dalam sehari. Fenomena ini kini makin sering dijumpai di berbagai titik di Kabupaten Klaten, wilayah yang dikenal dengan slogan “Kota Bersinar”—ironisnya, sinar itu justru semakin redup bagi para pekerja kecil yang bergantung pada UMK.
Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Tengah 2026 yang akan diumumkan pada Senin (8/12/2025) menjadi satu-satunya harapan yang tersisa bagi sebagian besar pekerja. Mereka berharap kenaikan UMP dapat mendorong kenaikan UMK Klaten tahun depan. Para buruh bukan berharap mewah—mereka hanya meminta kenaikan yang masuk akal agar hidup mereka tidak terus-menerus berada di bawah tekanan ekonomi.
Saat ini gaji UMK Klaten yakni Rp2.389.873,00 dinilai sangat tidak memadai. Harga bahan pokok yang naik-turun, biaya transportasi yang terus merangkak naik, serta pengeluaran rumah tangga yang semakin membengkak membuat banyak buruh tidak memiliki pilihan lain selain mencari pekerjaan tambahan. Sebagian bahkan bekerja dari pagi hingga larut malam demi memastikan dapur tetap mengepul.
Wulan Ariya (36), seorang buruh pabrik yang tinggal di Wedi, Klaten, merasakan betul sulitnya bertahan dengan gaji setara UMK Klaten. Penghasilannya habis untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan sehari-hari, serta kebutuhan orang tua yang juga harus ia bantu.
“Gaji saya habis untuk membantu orang tua, makan sehari-hari, dan transportasi. Kalau ada kebutuhan mendadak seperti sakit atau keluarga di rumah butuh uang, ya terpaksa cari tambahan. Mau mencari pekerjaan di tempat lain sekarang sedang susah, lapangan pekerjaan sempit sekali, apalagi saya hanya tamatan SMA,” ujarnya.
Wulan bekerja di pabrik dari pukul 08.00 hingga 16.00. Namun penghasilan itu tidak cukup. Untuk menambah pemasukan, ia menjalani pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan restoran pada malam hari hingga pukul 22.00. Aktivitas itu ia lakukan tiga hingga empat kali dalam sepekan.
“Dibilang lelah, ya pasti lelah. Tapi kebutuhannya banyak, apalagi saya anak pertama. Mau tidak mau harus tetap dijalani,” katanya.
Bagi Wulan, penghasilan ideal minimal untuk sekadar hidup layak berada di angka Rp3 juta per bulan. “Angka segitu sudah cukup meskipun mepet sekali untuk bertahan hidup, tapi paling tidak sudah layak,” ucapnya.
Cerita serupa datang dari Dasmadi (45), pekerja logistik yang saban hari menghabiskan waktu sebagai buruh gudang. Pada malam hari, ia menjadi pengemudi ojek daring demi menutup kekurangan kebutuhan rumah tangga.
“Kalau hanya mengandalkan satu pekerjaan, saya tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya anak sekolah. Kadang dua pekerjaan pun hanya pas, tidak bisa lebih untuk nambah kebutuhan,” ujarnya.
Dasmadi mengakui bahwa beban pengeluaran semakin tidak terkendali. Biaya kontrakan naik hampir setiap tahun. Harga bahan pokok seperti beras dan minyak goreng sulit turun. Sementara biaya pendidikan anak semakin berat karena adanya pungutan-pungutan tambahan yang tidak dapat dihindari.
“Saya belum bermimpi untuk punya rumah sendiri, tapi paling tidak kebutuhan anak-istri terpenuhi dulu. Harga bahan pokok semoga bisa lebih stabil. Buat orang kecil seperti saya, kenaikan UMK akan sangat membantu, apalagi di tengah situasi seperti ini,” katanya.
Di tengah desakan kenaikan upah, Analis EWRC Indonesia, Eko Wiratno, memberikan pandangan kritis soal kelayakan UMK Klaten tahun 2026. Menurutnya, UMK Klaten saat ini secara objektif jauh dari kata layak jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup sesungguhnya. Dengan kondisi harga bahan pokok yang terus merangkak naik, UMK harusnya mengikuti standar kebutuhan dasar buruh.
“UMK Klaten yang layak adalah minimal Rp3 juta. Tapi saya pesimistis akan naik ke angka itu,” ujar Eko Wiratno.
Menurut analisisnya, peluang kenaikan UMK Klaten tahun 2026 hanya sekitar 7 persen. Dengan kenaikan setipis itu, UMK Klaten diperkirakan hanya akan naik menjadi Rp2.557.164,00—angka yang masih jauh dari kebutuhan hidup minimal buruh.
Eko Wiratno juga menyoroti fakta bahwa nilai logam mulia (emas Antam) dapat menjadi indikator kesehatan ekonomi masyarakat. Per 1 Desember 2025, harga emas Antam mencapai Rp2.657.000 per gram. “Gaji UMK bahkan tidak bisa membeli 1 gram emas. Itu menunjukkan betapa kecilnya nilai riil pendapatan buruh. Kalau 1 bulan bekerja tidak bisa membeli 1 gram emas, artinya daya beli buruh sudah sangat tergerus,” tegasnya.
Kenaikan upah yang hanya beberapa ratus ribu rupiah tidak akan mampu mengimbangi inflasi kebutuhan pokok. Dengan kondisi seperti itu, beban hidup buruh Klaten tetap akan berat. Buruh akan terus terjebak dalam lingkaran pekerjaan berlapis: pagi kerja di pabrik, sore mengojek, malam menjadi karyawan kafe atau toko. Kehidupan mereka tidak pernah benar-benar istirahat.
Selain itu, Eko Wiratno juga menegaskan bahwa persoalan UMK bukan hanya soal angka nominal, tetapi juga soal keberlanjutan hidup buruh. Tanpa perbaikan signifikan, daya beli masyarakat akan terus melemah, perlahan menggerus kualitas hidup buruh dan keluarganya. Anak-anak buruh tumbuh dalam tekanan ekonomi, sementara orang tua mereka harus menguras tenaga dari pagi hingga malam demi tetap bertahan.
Buruh tidak meminta fasilitas mewah. Mereka hanya ingin hidup layak dengan bekerja satu pekerjaan, bukan dua atau tiga. Mereka ingin memiliki ruang untuk beristirahat, waktu untuk keluarga, serta sedikit tabungan untuk masa depan. Namun selama UMK masih jauh dari kebutuhan riil, impian itu tetap menjadi kemewahan.
Kini, seluruh mata buruh tertuju pada pemerintah provinsi yang akan mengumumkan UMP. Harapan mereka sederhana: kenaikan yang benar-benar dirasakan, bukan sekadar angka kosmetik yang tak memberikan dampak berarti. Sebab bagi para pekerja kecil, setiap rupiah bisa menentukan apakah mereka bisa hidup layak atau kembali terjerat hutang.(**)









