“Sumatra Menangis, Jiwo Kulon Bangkit: Solidaritas dari Pinggir Jalan yang Mengguncang Hati”
KLATEN (Jaringan Arwira Media Group) — Angka korban banjir dan longsor yang meluluhlantakkan Sumatra terus meroket, dan data terbaru dari BNPB pada Minggu (7/12/2025) pukul 10.00 WIB benar-benar menampar nurani siapa pun yang membacanya: 916 jiwa meninggal, 274 masih hilang entah di mana, dan 4.200 orang terluka. Tragedi ini bukan lagi bencana biasa—ini alarm keras bahwa ada ribuan keluarga yang hidupnya hancur seketika.
“Update data per 7 Desember 2025, korban meninggal dunia 916 jiwa, hilang 274 jiwa, dan terluka sekitar 4,2 ribu jiwa,” tulis BNPB. Kalimat singkat, dingin, dan formal—tapi di balik angka itu ada air mata, jenazah, dan ribuan keluarga yang tiba-tiba kehilangan pegangan hidup.
Kerusakan infrastruktur pun tidak kalah brutal: 1.300 fasilitas umum rata dengan lumpur dan puing, termasuk 420 rumah ibadah, 199 fasilitas kesehatan, 234 kantor, 697 sekolah, hingga 405 jembatan yang putus. Belum lagi 105.900 rumah warga rusak, dari retak sampai lenyap dibawa arus. Puluhan ribu orang dipaksa meninggalkan rumah mereka, tidur di pengungsian tanpa kepastian kapan bisa pulang.
Pada Sabtu (6/12/2025), korban “baru” 914 jiwa. Namun sehari kemudian, angka itu naik lagi. Kepala Pusat Data BNPB, Abdul Muhari, menyebut Aceh sebagai wilayah dengan korban terbanyak: 359 jiwa. Sumatra Utara menyusul dengan 329 korban, dan Sumatra Barat 226 korban. Sumatra benar-benar memikul beban bencana paling mematikan tahun ini.
Di tengah kegentingan itu, justru dari sebuah sudut kecil di Jawa Tengah, tepatnya di Jiwo Kulon, Trotok, Wedi, Klaten, muncul energi sosial yang tidak bisa disepelekan. Ketika banyak orang hanya bisa mengeluh di media sosial, komunitas akar rumput di sini justru turun ke jalan: GS Sound, Relawan Sosial Melati Putih, Pagar Nusa, Senkom, hingga pemuda-pemudi Jiwo Kulon—semua menyatu dalam satu kata: bergerak.
Selama dua hari, Sabtu–Ahad (6–7/12/2025), mereka berdiri di Jln. Raya Wedi – Bayat km 05 dan samping SPBU Pandanaran Jiwo, menggenggam kotak donasi dan menyapa setiap pengendara. Teriakan solidaritas menggema dan pengeras suara dari GS Sound membuat lokasi itu seperti pusat energi kepedulian yang baru.
Musik Live menarik perhatian-untuk memanggil nurani. Pengendara datang dan pergi, tetapi banyak yang menghentikan motor, menepi, lalu memasukkan uang ke kotak donasi tanpa pikir panjang. Ada yang cuma receh, ada yang lembaran besar. Semua dihargai. Semua dicatat. Semua untuk saudara sebangsa yang sedang terjepit nasib.
Anung (38), salah satu relawan, tidak pakai basa-basi ketika ditanya alasannya turun ke jalan.
“Kami benar-benar terketuk hati. Mereka kehilangan rumah, usaha, bahkan keluarga. Masa kami cuma menonton? Itu bukan kami.”
Aksi ini murni kemanusiaan. Tanpa sponsor. Tanpa kepentingan. Tanpa pencitraan. Hanya gerakan organik warga yang hatinya tidak membatu.
Penggalangan dana berlangsung rapi dan tertib. Pemuda desa ikut membantu mengatur arus kendaraan. Tidak ada paksaan, tidak ada intimidasi. Hanya ajakan solidaritas yang dilakukan dengan cara paling bermartabat.
Respons publik mengejutkan. Banyak pengendara rela putar balik setelah isi BBM hanya untuk berdonasi. Salah satu di antaranya adalah Dwi Suci. Setelah mengisi BBM, ia mendatangi relawan dan menyumbang.
“Kita jauh dari Sumatra, tapi bukan berarti kita tak bisa membantu. Lewat donasi kecil ini, kita ikut meringankan beban mereka.”
Ia bahkan menegaskan, gotong royong bukan slogan—ia hidup nyata ketika bencana datang.
Dana yang terkumpul nantinya akan disalurkan lewat jalur yang aman dan transparan. Tidak ada uang yang hilang di jalan, tidak ada ketidakjelasan. Semuanya akan dilaporkan pada warga.
Anung menegaskan, “Setiap rupiah harus sampai kepada korban. Itu amanah.”
Aksi sederhana di pinggir jalan ini mungkin tampak kecil dibanding besarnya bencana Sumatra. Tapi justru dari gerakan kecil inilah harapan tumbuh. Harapan bahwa bangsa ini belum kehilangan rasa peduli. Bahwa ketika satu daerah roboh, daerah lain siap menopang.
Dalam suasana duka, Jiwo Kulon membuktikan bahwa kepedulian tidak butuh panggung besar. Cukup keberanian untuk turun ke jalan dan berkata: kami bersama kalian.
Solidaritas yang mengalir dari Jiwo Kulon, Klaten menuju Sumatra adalah bukti bahwa gotong royong bukan hanya cerita lama—ia adalah kekuatan yang membuat bangsa ini tetap berdiri di atas setiap tragedi.
Dan selama masih ada relawan seperti mereka, Indonesia tak akan pernah benar-benar runtuh.(**)











