[otw_is sidebar=otw-sidebar-4]

Antitesa Tambang: Panggilan Sejarah NU–Muhammadiyah Menyelamatkan Bumi Eko Wiratno – Analis EWRC Indonesia

[otw_is sidebar=otw-sidebar-5]
[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Tambang adalah wajah paling telanjang dari peradaban ekstraktif. Ia memakan bumi tanpa pernah menumbuhkannya kembali. Tambang bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan proses pembakaran fosil yang mempercepat krisis iklim, merusak bentang alam, menebarkan debu beracun, dan meninggikan suhu bumi ke titik paling rapuh dalam sejarah manusia.

Dampaknya tak berhenti pada lubang-lubang tanah yang ditinggalkan. Ia terus menjalar menjadi banjir bandang, longsor, kekeringan ekstrem, rusaknya mata air, dan menghilangnya ruang hidup rakyat kecil. Tambang menebang kayu tanpa menanam kayu. Tambang menggarong batu tanpa menyusun batu. Tambang mengeruk tanah tanpa memadatkan tanah. Ia meninggalkan warisan luka ekologis yang tak pernah masuk ke dalam neraca biaya industri.

Dalam situasi genting inilah, dua ormas Islam terbesar Indonesia—Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah—berdiri di persimpangan sejarah. Keduanya tidak memerlukan ceramah normatif tentang doktrin menjaga alam. Keduanya telah memiliki fondasi teologi kuat tentang khalifah fil ardh, amar ma’ruf nahi munkar, serta teologi al-maslahah. Persoalan hari ini bukan lagi soal wacana moral, melainkan keputusan kebajikan: Apakah NU–Muhammadiyah akan ikut larut dalam arus ekstraktivisme, atau justru tampil sebagai penentu arah peradaban hijau Indonesia?

Ada dua jalan yang secara etik dan strategis dapat ditempuh oleh NU–Muhammadiyah sebagai antitesa tambang.

Pertama: mengembalikan izin pertambangan.


Langkah ini mungkin terdengar radikal, tetapi sepenuhnya sejalan dengan mandat moral. Ketika sebuah aktivitas terbukti membawa kerusakan lebih besar daripada manfaat sosialnya, maka menahannya adalah perintah keadilan. Ekonomi tambang sejatinya tidak menyejahterakan umat. Ia menguntungkan segelintir elite modal, sementara masyarakat sekitar justru menanggung biaya sosial-ekologis yang tak terhitung: rusaknya tanah pertanian, pencemaran air, konflik sosial, hingga meningkatnya risiko bencana. Mengembalikan izin tambang berarti memutus mata rantai ekonomi rakus yang hanya meninggalkan penderitaan ekologis.

Kedua: melakukan mitigasi bencana sekaligus membangun ekonomi alternatif hijau melalui industri non-ekstraktif: garam, rumput laut, dan kelapa.

Industri Garam bisa menjadi fondasi ekonomi NU–Muhammadiyah yang sama sekali tidak merusak alam. Garam bukan sekadar bahan dapur—ia adalah komoditas strategis dunia. Garam menjadi bahan baku industri otomotif, manufaktur baterai, penyimpanan energi, farmasi, hingga pengolahan tanah jarang.

Saat ini, permintaan impor garam oleh Amerika Serikat dan China sangat tinggi, seiring meningkatnya kebutuhan industri teknologi. Indonesia—sebagai negara maritim terbesar—justru masih bergantung pada impor karena kegagalan tata kelola. NU–Muhammadiyah memiliki modal massa, jaringan pesantren, dan struktur koperasi yang memungkinkan membangun industri garam modern berbasis umat, dari hulu hingga hilir. Ini bukan sekadar bisnis, melainkan kedaulatan ekonomi rakyat pesisir.

Industri Rumput Laut bahkan menawarkan peluang jauh lebih strategis. NU–Muhammadiyah dapat meminta kepada pemerintah izin pengelolaan lahan pesisir sepanjang garis pantai Indonesia untuk budidaya rumput laut non-panen dalam skema carbon sink project. Rumput laut adalah penyerap karbon hingga 100 kali lebih efektif dibanding mangrove.

Dunia hari ini memasuki era pasar karbon global, di mana nilai perdagangan karbon jauh melampaui nilai emas, nikel, bahkan batubara. Perang dagang Amerika–China yang sejatinya dipertarungkan bukan hanya soal teknologi, melainkan kontrol atas karbon dan tanah jarang. NU–Muhammadiyah dapat tampil sebagai pionir ekonomi karbon berbasis ekologi umat: menyerap karbon dunia, menjual kredit karbon global, sekaligus menjaga ekosistem laut.

Lebih dari itu, proyek ini akan membuka lapangan kerja hijau bagi nelayan, santri pesisir, dan masyarakat adat—lapangan kerja yang tidak mencemari air, tidak menghancurkan terumbu, dan tidak merusak masa depan anak cucu.

Industri Kelapa adalah sektor ketiga yang tak kalah strategis. NU–Muhammadiyah dapat mengambil momentum “sisa umur dunia” menuju ekonomi berkelanjutan. Masa depan industri kelapa sangat cerah seiring tren pangan sehat, kosmetik organik, energi terbarukan, dan material ramah lingkungan. Pemerintah sendiri telah menetapkan Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025–2045 untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa dan kesejahteraan petani. Di sinilah NU–Muhammadiyah tepat mengambil posisi kolaboratif sebagai penggerak ekonomi umat.

Dengan hilirisasi, kelapa tidak berhenti sebagai buah mentah. Ia menjelma menjadi Virgin Coconut Oil (VCO) bernilai tinggi, arang batok sebagai komponen karbon aktif industri, cocofiber untuk otomotif dan furnitur, serta cocopeat untuk pertanian modern dan reklamasi lahan kritis. Semua turunan ini memiliki pasar ekspor luas dan stabil.

Berbeda dengan tambang, kelapa adalah ekonomi keberkahan. Kelapa dinikmati oleh seluruh umat manusia, sementara tambang dinikmati oleh segelintir elite global yang kerap terhubung pada praktik korup, perusakan lingkungan, dan kejahatan struktural ekonomi. Tambang meruntuhkan negara dari dalam melalui konflik kepentingan dan degradasi ekologis; kelapa justru menguatkan bangsa melalui distribusi nilai yang adil.

Jika ketiga sektor alami ini digerakkan secara serius, NU–Muhammadiyah dapat:

  1. Meningkatkan nilai ekspor komoditas perkebunan nasional hingga 50–100 kali lipat melalui hilirisasi dan perdagangan karbon.

  2. Menciptakan jutaan lapangan kerja hijau, memperkuat ekonomi desa, dan menghentikan urbanisasi kemiskinan.

  3. Meningkatkan pendapatan petani dan nelayan, sekaligus menjadikan umat sebagai subjek ekonomi, bukan buruh ekstraktif.

Kini, semua kembali pada pilihan NU–Muhammadiyah sendiri:
Apakah berjalan di jalan kebajikan yang ma’ruf—menyelamatkan alam sekaligus memakmurkan umat—atau larut dalam pusaran ekstraktivisme yang menggerus keadilan ekologis?

Karena masa depan peradaban tidak ditentukan oleh seberapa besar batu yang digali, melainkan seberapa kuat bumi dipelihara.
Dan sejarah akan mencatat: NU–Muhammadiyah berdiri di pihak kehidupan—atau tertinggal oleh keserakahan zaman.(**)

[otw_is sidebar=otw-sidebar-6]
author

Author: 

Leave a Reply