Menulis dari Desa, Membangun dari Kata Oleh: Eko Wiratno – EWRC Indonesia
Menulis bukan hanya urusan huruf dan paragraf. Ia adalah bentuk keberanian menyampaikan kebenaran di tengah kebisingan zaman. Dalam setiap kata yang ditulis, tersimpan niat untuk menyuarakan yang tak terdengar, menampakkan yang disembunyikan, dan menyalakan obor pengetahuan di tempat yang sering dilupakan.
Dari desa, kita belajar bahwa kekuatan perubahan sering kali lahir dari kesederhanaan. Di tepian sawah, di pasar tradisional, atau di langgar kecil tempat anak-anak TPQ mengaji, sesungguhnya ada ribuan cerita yang layak dibaca publik. Tapi sayang, banyak kisah itu menguap begitu saja karena tidak ada yang menuliskannya.
Media nasional terlalu sibuk menyorot pusaran kekuasaan dan politik elitis. Padahal, denyut kehidupan bangsa justru berdetak paling nyata di daerah — di tempat para petani menggantungkan hidup, pedagang kecil bertahan di tengah gejolak harga, dan guru honorer menulis masa depan anak negeri dengan pengabdian tanpa pamrih.
Media lokal seperti infojawatengah.com menjadi penting karena mampu mengisi ruang kosong itu. Ia menjadi cermin bagi masyarakat yang ingin melihat dirinya sendiri, bukan sekadar menjadi penonton berita dari Jakarta. Di sinilah jurnalisme menemukan wajah sejatinya: membela yang lemah, memberdayakan yang kecil, dan menyuarakan keadilan dalam bahasa rakyat.
Namun menulis dari desa bukan pekerjaan ringan. Tidak ada kamera besar, tidak ada tim redaksi lengkap, bahkan sering kali tidak ada sinyal internet yang stabil. Tapi di balik keterbatasan itu, ada semangat besar yang tidak bisa dibeli: kejujuran dan keberpihakan. Seorang penulis desa menulis bukan untuk popularitas, melainkan untuk memastikan desanya tak hilang dari peta narasi nasional.
Melalui EWRC Indonesia, kami mendorong lahirnya gerakan jurnalisme akar rumput — sebuah upaya agar masyarakat desa bisa menjadi subjek, bukan objek berita. Setiap warga berhak menulis tentang lingkungannya sendiri: harga kedelai hitam di musim panen, usaha kecil yang bertahan di pasar tradisional, atau inovasi pertanian yang lahir dari pengalaman, bukan teori.
Kata adalah kekuatan. Ia bisa mengubah persepsi, membangkitkan harapan, dan bahkan membentuk arah kebijakan. Ketika warga desa mulai menulis, mereka tidak hanya membangun literasi, tapi juga membangun kepercayaan diri bahwa suaranya penting dan layak didengar.
Kita sering berbicara tentang pembangunan fisik — jalan, jembatan, gedung, dan pasar. Tapi pembangunan mental dan informasi jauh lebih mendesak. Bangsa ini tidak akan maju jika warganya tidak punya keberanian menulis dan berpikir kritis. Desa yang cerdas informasi akan lebih cepat berkembang karena warganya mampu menganalisis masalah dan mencari solusi dengan logika, bukan hanya menunggu instruksi dari atas.
Di era digital, menulis sudah tidak sesulit dulu. Cukup dengan ponsel dan niat yang kuat, siapa pun bisa menulis dan mempublikasikan gagasannya. Tantangannya sekarang bukan pada alat, tapi pada kejujuran. Banyak tulisan lahir bukan untuk menerangi, tapi untuk membenarkan kebohongan. Maka di sinilah peran jurnalisme warga diuji: apakah kita menulis untuk membangun atau sekadar menambah gaduh?
Menulis dari desa berarti membangun dari akar. Ia bukan hanya pekerjaan seorang wartawan, tapi juga panggilan hati setiap warga yang ingin melihat daerahnya maju dan dihargai. Setiap tulisan tentang pasar, sawah, sekolah, dan kegiatan sosial adalah bentuk kecil dari cinta terhadap tanah kelahiran.
Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah.” Maka menulislah, agar desa kita tidak hilang dari sejarah bangsa. Karena siapa yang menulis, dialah yang menguasai masa depan narasi Indonesia.
Menulis dari desa bukan sekadar tentang tinta dan kertas — ini tentang keberanian, tentang suara kecil yang menolak diam, dan tentang cita-cita agar negeri ini benar-benar tumbuh dari bawah, bukan sekadar diperintah dari atas.
EWRC Indonesia percaya, membangun bangsa bisa dimulai dari satu hal sederhana: menulis dengan niat baik dan berpihak pada rakyat kecil. Dari kata lahir kesadaran, dari kesadaran lahir tindakan, dan dari tindakan lahir perubahan. Dan perubahan sejati selalu dimulai dari tempat yang paling sederhana: dari desa.(**)







