[otw_is sidebar=otw-sidebar-4]

Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Antara Luka Sejarah dan Jasa Pembangunan Oleh Eko Wiratno Analis EWRC Indonesia

[otw_is sidebar=otw-sidebar-5]
[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Setiap kali bulan Oktober datang, ketika bangsa ini mengenang Hari Kesaktian Pancasila dan memutar kembali film tentang G30S/PKI, satu nama kembali bergema di ruang publik: Soeharto. Perdebatan soal apakah ia layak diberi gelar Pahlawan Nasional terus berulang — seperti gema yang tak pernah padam dari lorong sejarah bangsa.

Bagi sebagian rakyat Indonesia, Soeharto adalah Bapak Pembangunan, figur yang menegakkan kembali sendi-sendi ekonomi nasional setelah masa kekacauan politik dan hiperinflasi pasca-1965. Namun, bagi kalangan lain, ia adalah arsitek represi politik, yang menutup ruang demokrasi dan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) besar-besaran.

Pertanyaannya kini: apakah jasa seorang pemimpin dapat menghapus luka sejarah yang ditinggalkannya?
Ataukah bangsa ini sudah cukup dewasa untuk menilai masa lalu secara utuh — bukan hitam-putih?

Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Yogyakarta, 8 Juni 1921. Dari latar keluarga petani sederhana, ia menapaki karier militer melalui PETA, kemudian bergabung dengan TNI. Ketegasannya membuat kariernya melesat cepat hingga menjabat Panglima Kostrad di awal 1960-an.

Ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengguncang republik, Soeharto tampil sebagai figur pengendali. Melalui Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), ia secara de facto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, dan setahun kemudian resmi menjadi Presiden Republik Indonesia.

Dari sinilah bab panjang Orde Baru dimulai: sebuah rezim yang mengutamakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, namun sering kali mengorbankan kebebasan sipil.

Pihak yang Mendukung: Soeharto Layak Dikenang Sebagai Pahlawan

Kelompok yang mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menilai, jasa dan dedikasi beliau terhadap pembangunan nasional tidak dapat disangkal. Tiga dekade kepemimpinannya membawa perubahan besar terhadap wajah Indonesia — dari negara agraris miskin menjadi negara berkembang dengan struktur ekonomi modern.

1. Pemulihan Ekonomi Nasional

Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan, inflasi mencapai lebih dari 600 persen. Dalam waktu tiga tahun, inflasi berhasil ditekan ke bawah 20 persen. Program stabilisasi ekonomi yang didukung teknokrat “Mafia Berkeley” membangun kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Dalam catatan Bank Dunia (1993), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru rata-rata 7 persen per tahun selama lebih dari dua dekade — sebuah rekor yang belum pernah terulang.

2. Swasembada Pangan dan Pembangunan Desa

Puncak keberhasilan Soeharto diraih pada tahun 1984, ketika FAO menganugerahkan penghargaan kepada Indonesia sebagai negara yang berhasil swasembada beras. Program Inpres Pertanian, pembangunan irigasi, serta penyuluhan pertanian terpadu mengangkat taraf hidup petani. Selain itu, Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Kredit Usaha Tani memperkuat ekonomi pedesaan. Sistem Puskesmas, SD Inpres, dan Posyandu menjadi tonggak pelayanan dasar rakyat.

3. Kemandirian Nasional dan Stabilitas Politik

Era Soeharto ditandai dengan stabilitas politik yang luar biasa. Dalam tiga dekade pemerintahannya, Indonesia tidak pernah mengalami kudeta, perang saudara, atau konflik bersenjata besar. Ia juga memainkan peran penting dalam Gerakan Non-Blok, memperkuat diplomasi bebas aktif Indonesia di dunia internasional.

“Soeharto adalah figur yang memelihara kedaulatan nasional sekaligus membangun sistem ekonomi yang berorientasi rakyat,”
ujar sejarawan politik Asvi Warman Adam (Kompas, 2022).

4. Simbol Konsistensi dan Ketertiban

Bagi masyarakat kelas menengah bawah, Soeharto adalah simbol ketertiban dan keteraturan. Harga kebutuhan pokok terjaga, keamanan relatif stabil, dan pemerintah hadir di setiap sendi kehidupan rakyat. Mereka menyebutnya dengan penuh nostalgia: “jaman Pak Harto enak, ora akeh keributan.”

Pihak yang Menolak: Luka HAM dan Demokrasi yang Terkunci

Namun di sisi lain, tak sedikit kalangan yang menilai bahwa menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah bentuk pengingkaran terhadap sejarah penderitaan rakyat.

1. Tragedi 1965–1966

Ratusan ribu orang dituduh sebagai simpatisan PKI, dibunuh, dipenjara tanpa proses hukum, dan dikucilkan secara sosial. Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Hingga kini, negara belum pernah melakukan penyelidikan yudisial secara tuntas.

2. Represi Politik dan Pembatasan Demokrasi

Era Orde Baru dikenal dengan kontrol ketat terhadap kebebasan berpendapat.
Partai politik disederhanakan menjadi tiga (Golkar, PPP, PDI), pers dibungkam melalui sistem Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dan aktivis demokrasi kerap diburu. Kasus penculikan aktivis 1997–1998, Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, serta pembunuhan Marsinah dan Wiji Thukul masih menjadi luka yang menuntut keadilan.

3. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Di penghujung kekuasaannya, Soeharto dikenal dengan akronim KKN. Lembaga Transparency International pada 2004 menempatkannya sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan kerugian negara mencapai miliaran dolar AS.

Syarat Pahlawan Nasional dan Dilema Etik

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, seorang tokoh dapat diangkat menjadi Pahlawan Nasional apabila:

  1. Telah meninggal dunia dan semasa hidupnya berjasa luar biasa bagi bangsa.

  2. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat mencoreng kehormatan negara.

Di sinilah letak dilema etis dan moral.
Apakah keberhasilan ekonomi dan stabilitas nasional dapat menutupi pelanggaran HAM dan represi politik?
Apakah bangsa ini siap memberi pengampunan sejarah tanpa melupakan tanggung jawab moral?

Pandangan Pribadi: Melihat Soeharto dengan Keadilan Sejarah

Sebagai penulis dan pengamat sosial, saya pribadi berpendapat bahwa Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional — bukan karena tanpa cela, melainkan karena jasa dan pengabdiannya terhadap bangsa Indonesia yang nyata dan terukur. Kita harus jujur bahwa setiap pemimpin besar selalu meninggalkan dua sisi: jasa dan dosa.
Soekarno pun pernah mengalami konflik ideologi dan ekonomi. Namun bangsa ini tetap mengangkatnya sebagai pahlawan karena jasa kemerdekaannya jauh lebih besar daripada kesalahannya.

Soeharto, dengan segala kontroversinya, telah membangun fondasi ekonomi nasional yang bertahan hingga hari ini.
Tanpa pembangunan infrastruktur dasar, irigasi, sekolah, dan puskesmas di era Orde Baru, mungkin Indonesia tak akan menjadi negara dengan daya saing ekonomi seperti sekarang.

Mengampuni Bukan Berarti Melupakan

Mengusulkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan berarti menutup mata terhadap pelanggaran HAM.
Justru sebaliknya — dengan memberi pengakuan formal, bangsa ini bisa menghadapi sejarah dengan kepala tegak, bukan menutupinya. Kita bisa menempatkan Soeharto sebagai tokoh sejarah yang utuh: pemimpin besar yang membawa kemajuan ekonomi dan sekaligus produk zamannya yang keras.
Rekonsiliasi sejarah seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok.

“Bangsa besar adalah bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya,”
— kata Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2000, ketika menolak politik dendam terhadap Soeharto.

Soeharto mungkin bukan pemimpin yang sempurna.
Namun dari sosoknya, bangsa ini belajar banyak: tentang arti stabilitas, tentang bahaya kekuasaan absolut, dan tentang pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan kebebasan. Jika bangsa ini mampu mengangkat Soekarno — sang ideolog — dan Habibie — sang teknokrat — maka mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukanlah bentuk glorifikasi, tetapi pengakuan terhadap peran historisnya dalam membangun fondasi Indonesia modern.

Saatnya Berdamai dengan Sejarah

Wacana menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan soal romantisme masa lalu, melainkan ujian kedewasaan bangsa ini dalam menilai sejarahnya sendiri. Sudah saatnya kita berhenti membagi masa lalu dalam dua warna ekstrem — hitam dan putih — dan mulai melihatnya dalam gradasi realitas.

Soeharto adalah bagian dari Indonesia, dengan segala keberhasilan dan kekeliruannya.
Memberinya gelar Pahlawan Nasional bukan berarti menafikan luka masa lalu, tapi menegaskan bahwa bangsa ini mampu mengakui jasa tanpa melupakan dosa.

Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak hanya mengingat Soeharto sebagai “penguasa yang jatuh”, tetapi juga sebagai pemimpin yang membangun negeri dari reruntuhan. Dan mungkin, di situlah arti sejati kepahlawanan.(**)

[otw_is sidebar=otw-sidebar-6]
author

Author: 

Leave a Reply