Eko Wiratno: Cuan Emas Setahun Capai 44,25 Persen
Klaten (Jaringan Arwira Media Group) – Pendiri EWRC Indonesia, Eko Wiratno, menilai lonjakan harga emas kali ini merupakan refleksi dari dua hal besar: meningkatnya ketidakpastian global dan melemahnya nilai tukar berbagai mata uang terhadap dolar AS. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi mencerminkan pergeseran besar arah keuangan global di mana emas kembali tampil sebagai pelindung nilai utama (safe haven asset).
Menurut Eko, kondisi geopolitik yang tegang, inflasi yang masih tinggi, serta ketidakpastian arah kebijakan suku bunga di negara-negara maju, mendorong investor di seluruh dunia mencari tempat berlindung yang paling aman. “Emas kembali menjadi instrumen investasi yang paling aman di tengah gejolak ekonomi global yang belum stabil,” ujarnya di Klaten, Selasa (7/10/2025).
Kenaikan 44,25 Persen: Bukti Ketangguhan Aset Fisik
Eko menjelaskan, jika dihitung secara sederhana, kenaikan harga emas Antam selama setahun terakhir mencapai sekitar 44,25 persen. Artinya, bagi investor yang memiliki emas 1 kilogram, nilainya sudah meningkat lebih dari Rp627 juta dalam setahun. “Kalau dipecah lebih rinci, cuannya sekitar Rp52,31 juta per bulan atau Rp1,72 juta per hari. Itu angka yang luar biasa untuk instrumen seaman emas,” imbuhnya.
Kenaikan ini menurut Eko, bukan semata akibat permintaan domestik, tetapi mencerminkan sinyal global bahwa logam mulia kembali menjadi barometer stabilitas. Ketika pasar saham bergejolak dan obligasi kurang menarik, emas menjadi jangkar nilai ekonomi dunia.
Faktor Pendorong Reli Emas
Menurut analisis EWRC Indonesia, ada empat faktor besar yang mendorong reli harga emas hingga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah perdagangan logam mulia di Indonesia dan dunia.
-
Ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global.
Konflik di beberapa kawasan dunia — mulai dari Timur Tengah, Eropa Timur hingga Asia Timur — memicu kekhawatiran akan ketegangan ekonomi global. Ketidakpastian ini membuat investor besar, termasuk lembaga dana pensiun dan bank sentral, meningkatkan porsi kepemilikan emas mereka. -
Kebijakan moneter longgar di berbagai negara.
Bank-bank sentral mulai menurunkan suku bunga demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Dampaknya, imbal hasil dari aset keuangan konvensional seperti deposito dan obligasi menurun tajam. Dalam situasi ini, emas yang tidak memberikan bunga justru menjadi lebih menarik karena nilainya tidak tergerus inflasi. -
Pelemahan dolar AS.
Ketika dolar melemah terhadap mata uang lain, harga emas dalam dolar tampak lebih murah bagi investor di luar Amerika Serikat. Hal ini meningkatkan permintaan global, memperkuat reli harga di berbagai pasar dunia. -
Lonjakan permintaan ritel di Asia.
Asia masih menjadi motor utama permintaan emas dunia. Di Indonesia, India, dan Tiongkok, permintaan emas fisik meningkat signifikan menjelang musim pernikahan, festival, dan perayaan keagamaan. “Faktor budaya dan tradisi membuat emas bukan hanya instrumen investasi, tetapi juga simbol kehormatan dan stabilitas keluarga,” ujar Eko.
Emas dan Mentalitas Investor Indonesia
Eko Wiratno menilai bahwa fenomena kenaikan harga emas ini juga membuka pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia: pentingnya kesabaran dan disiplin dalam berinvestasi.
Menurutnya, banyak investor pemula yang tergoda menjual emas begitu harga naik sedikit, tanpa memahami karakter emas sebagai aset jangka panjang.
“Emas tidak untuk spekulasi cepat. Kuncinya bukan kapan membeli, tapi seberapa lama kita sanggup menyimpannya. Nilai emas tumbuh bersama waktu dan stabilitas global,” tegas Eko.
Ia menambahkan, masih banyak masyarakat yang belum memahami bahwa emas berfungsi ganda — sebagai pelindung nilai (hedging asset) sekaligus alat penyimpan kekayaan lintas generasi. Dalam banyak budaya, emas diwariskan sebagai bentuk kestabilan finansial keluarga, bukan semata untuk keuntungan instan.
Prediksi Arah Harga Emas 2026
Meski harga emas saat ini sudah menembus rekor, Eko menilai potensi kenaikan masih terbuka.
“Kalau tren global ini terus berlanjut, harga emas bisa menembus Rp2,8 juta per gram pada pertengahan 2026,” katanya.
Ia menegaskan bahwa dengan volatilitas pasar saham yang tinggi dan perlambatan ekonomi dunia, logam mulia masih menjadi pilihan utama bagi investor konservatif.
“Emas memiliki daya tahan psikologis. Saat pasar panik, emas tetap menjadi jangkar. Ia tidak bisa dicetak sesuka hati seperti uang kertas,” jelasnya.
Eko juga menyebutkan bahwa tren digitalisasi keuangan dan munculnya gold token di berbagai platform global justru memperkuat posisi emas di era ekonomi digital. “Kini emas bukan hanya bisa disimpan di brankas, tapi juga dalam bentuk digital yang aman dan terverifikasi,” tambahnya.
Konteks Sosial dan Ekonomi
Dalam konteks Indonesia, reli harga emas juga memiliki implikasi sosial-ekonomi yang luas. Bagi kalangan menengah ke bawah, kenaikan harga emas sering dimaknai sebagai peningkatan kekayaan karena sebagian masyarakat masih menjadikan emas sebagai tabungan tradisional. Namun di sisi lain, hal ini juga menantang daya beli mereka.
Eko Wiratno mengingatkan bahwa masyarakat perlu membedakan antara emas konsumtif (perhiasan) dan emas produktif (logam mulia batangan).
“Kalau emas perhiasan itu konsumsi, nilainya bisa turun karena faktor desain dan biaya pembuatan. Tapi emas batangan adalah instrumen penyimpan nilai jangka panjang. Ini yang perlu diedukasi terus,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya literasi keuangan. Banyak masyarakat yang membeli emas tanpa memahami konsep opportunity cost — misalnya, kapan waktu terbaik membeli, dan berapa porsi ideal emas dalam portofolio.
“Dalam konsep portfolio management, emas idealnya mengisi 20–30 persen dari total aset investasi,” papar Eko.
EWRC Indonesia dan Edukasi Literasi Investasi
Sebagai pendiri EWRC Indonesia, Eko Wiratno terus mendorong peningkatan literasi keuangan masyarakat Indonesia. Lembaga ini aktif melakukan riset, edukasi publik, dan publikasi analisis ekonomi strategis baik di tingkat nasional maupun daerah.
Menurutnya, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya diversifikasi aset masih rendah. Banyak yang terjebak pada satu jenis investasi tanpa mempertimbangkan risiko dan jangka waktu.
“Emas mengajarkan disiplin dan kesabaran. Dua hal ini juga menjadi fondasi mental investor sukses,” kata Eko.
EWRC Indonesia kini juga mengembangkan riset kolaboratif tentang perilaku investasi masyarakat pasca-pandemi. Hasil riset awal menunjukkan bahwa minat terhadap emas meningkat hingga 37 persen sejak tahun 2022, terutama di kalangan generasi muda.
“Ini kabar baik. Artinya, generasi muda mulai sadar bahwa emas bukan barang kuno, tapi aset masa depan,” jelasnya.
Tantangan dan Harapan
Eko Wiratno juga mengingatkan bahwa di balik euforia kenaikan harga emas, ada tantangan besar yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah potensi inflasi tinggi akibat likuiditas besar di pasar global.
“Kalau inflasi tidak terkendali, harga barang naik, daya beli turun, dan ketimpangan makin lebar. Maka emas menjadi solusi sementara, tapi kebijakan ekonomi harus menyeluruh,” tegasnya.
Ia juga berharap pemerintah dan lembaga keuangan nasional memperluas akses investasi emas untuk masyarakat kecil.
“Kalau bisa beli saham mulai dari Rp10.000, seharusnya beli emas juga bisa dimulai dari pecahan kecil. Demokratisasi akses investasi harus diperluas,” ujarnya.
Selain itu, Eko menilai bahwa peningkatan harga emas bisa dimanfaatkan untuk memperkuat cadangan devisa nasional. “Pemerintah bisa membeli emas domestik untuk memperkuat cadangan negara. Ini strategi yang sudah dilakukan banyak negara besar,” tambahnya.
Kesimpulan: Emas, Nilai, dan Ketahanan Finansial
Rekor baru harga emas Antam menjadi sinyal kuat bahwa aset logam mulia kembali menjadi primadona di tengah ketidakpastian global. Dengan kenaikan mencapai 44,25 persen dalam setahun, emas tidak hanya menjadi simbol stabilitas, tetapi juga sumber keuntungan nyata bagi para investor.
Bagi masyarakat Indonesia, fenomena ini menjadi momentum untuk lebih melek investasi dan memahami bahwa menjaga nilai kekayaan tidak selalu harus melalui saham atau properti — emas masih menjadi pelindung terbaik sepanjang masa.
“Cuan sejati bukan soal angka, tapi strategi dan waktu,” tutup Eko Wiratno, sembari mengingatkan bahwa emas bukan sekadar logam berharga, melainkan cermin ketahanan dan kesabaran manusia menghadapi dinamika ekonomi dunia.(**)









