Opini: Jogja–Solo Rp 300, Malioboro, dan Wajah Kota yang Berubah oleh : Eko Wiratno
Setiap tanggal 17 Agustus, ingatan saya selalu melayang pada dua hal: upacara bendera yang penuh khidmat, dan perjalanan sederhana menuju Malioboro setelah upacara di sekolah. Tahun 2020 dan 2021, saya masih merasakan rutinitas itu. Dari depan SMK Kristen 1 Klaten di Gumulan, saya naik bus Jogja–Solo dengan tarif hanya Rp 300, turun di perempatan PLN Rejowinangun, lalu berganti bus kota nomor 04 menuju Malioboro.
Rp 300, sebuah angka kecil, tetapi sarat makna. Angka itu menyimpan aroma nostalgia: dentuman mesin bus, teriakan kenek yang khas, hingga perasaan bebas bisa bepergian hanya dengan uang receh. Dari balik jendela bus, pemandangan berganti cepat: sawah, rumah, pasar, lalu jalanan kota Jogja yang kian padat.
Sesampainya di Malioboro, suasana seketika berubah. Jalanan penuh sesak, pedagang kaki lima berjejer menawarkan batik, kaos, hingga jajanan khas. Becak dan andong beriringan, menjadi ikon yang tak pernah tergantikan. Gedung Agung berdiri megah di dekat titik nol, tempat upacara kemerdekaan kerap digelar. Semua itu kini hanya tinggal potongan-potongan kenangan yang begitu hidup dalam ingatan, seolah baru terjadi kemarin sore.
Namun, waktu berjalan tanpa kompromi. Bus Jogja–Solo yang dulu melintas hampir setiap lima menit, kini sudah jarang terlihat. Bahkan, bisa satu jam sekali baru datang. Bus kota Jogja, yang dulu menjadi nadi transportasi rakyat, kini tinggal cerita. Semua digantikan dengan Trans Jogja—lebih modern, lebih tertib, tetapi kehilangan ruh sosial yang pernah hidup di dalam bus-bus lokal.
Inilah wajah baru Jogja. Kota yang dulu dikenal sederhana, kini perlahan bertransformasi menjadi kota wisata yang semakin komersial. Malioboro, yang dulu identik dengan interaksi hangat antara pedagang dan pembeli, kini ditata lebih rapi, tetapi juga kehilangan sebagian keotentikannya. Pedagang kaki lima dipindah, arus manusia diatur, bahkan wajah arsitektur pun disesuaikan dengan kebutuhan pariwisata.
Perubahan itu tentu tidak salah. Modernisasi memang diperlukan. Transportasi publik harus lebih layak, wajah kota harus lebih tertata, dan pariwisata memang menjadi salah satu penopang ekonomi utama Yogyakarta. Namun, ada satu hal yang sering terlupa: romantisme keseharian masyarakat.
Bus Rp 300, interaksi dengan kenek dan penumpang lain, tawar-menawar di emperan Malioboro, semua itu adalah bagian dari “kebudayaan jalanan” Jogja yang kini perlahan terkikis. Jogja dulu memberi ruang bagi rakyat kecil untuk berbaur, hidup berdampingan, dan merasakan kebebasan dengan cara yang sederhana. Jogja sekarang, meski masih menyimpan pesona, kerap terasa lebih dingin dan transaksional.
Bagi saya, perjalanan menuju Malioboro selepas upacara 17 Agustus adalah simbol kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan bukan hanya soal upacara seremonial di lapangan atau pidato kenegaraan, tetapi juga kebebasan menikmati perjalanan murah meriah, kebebasan bercengkerama tanpa batas, dan kebebasan merasakan kota yang hidup tanpa sekat.
Kini, 25 tahun lebih telah berlalu. Jogja terus berubah, dan perubahan itu tidak bisa dihentikan. Tetapi di balik gedung-gedung baru, Trans Jogja yang rapi, dan wajah Malioboro yang semakin modern, saya selalu percaya bahwa “Jogja yang dulu” tetap hidup di hati orang-orang yang pernah merasakannya. Jogja bukan hanya soal tempat, tetapi juga soal kenangan.
Dan untuk generasi muda, ada pesan yang ingin saya titipkan: jangan hanya melihat Jogja dari sudut modernitasnya saja. Belajarlah menghargai sejarah kecil yang mungkin tampak remeh—seperti perjalanan dengan bus Rp 300 atau hiruk pikuk Malioboro tempo dulu. Sebab di sanalah tersimpan makna tentang kebersahajaan, kebersamaan, dan rasa syukur atas kebebasan yang kita miliki hari ini.
Kemerdekaan sejati bukan sekadar simbol atau perayaan tahunan. Ia hidup dalam kenangan kecil, dalam perjalanan sederhana, dan dalam hati yang selalu mampu menghargai masa lalu sambil menatap masa depan.









![“Kenapa Harga Emas Antam Tak Pernah Turun? Sebuah Analisis Ekonomi” Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia] “Kenapa Harga Emas Antam Tak Pernah Turun? Sebuah Analisis Ekonomi” Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia]](https://yogyakampus.com/wp-content/uploads/ktz/af8d107d-aaa5-4258-927e-521789e52f61-3ner73svzgvwqvgwbr9yx6.jpeg)