Seluruh Elemen Masyarakat: Pahlawan Stunting Oleh : Septiana Juwita Mahasiswa Program Doktor Penyuluhan Pembangunan / Pemberdayaan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Masih dalam bulan November memperingati hari pahlawan yang jatuh tanggal 10 November yang diperingati setiap tahunnya. Kita tidak lupa mengenang jasa para pahlawan kita yang telah memperjuangkan negara kita untuk merderka dengan mengusir para penjejah dari bumi Indonesia yang pada puncaknya peristiwanya ada di Surabaya tahun 1945.
Hari pahlawan tidak hanya sekedar untuk mengingat, namun kita perlu menanamkan nilai-nilai kepahlawan kepada generasi bangsa untuk mengisi kemerdekaan salah satunya adalah pencegahan dan penanganan stunting untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Perlu kita ingat bahwa di dalam Undang-undang Dasar 1945 menyatakan “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”
Stunting merupakan salah satu masalah sosial yang memiliki keterkaitan masalah gizi dan ekonomi keluarga yang harus segera diatasi. UUD 1945 bab XA Pasal 28B ayat (2) menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan perkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pemerintah telah berupaya membuat Program Percepatan Penurunan Stunting (PPPS) yang merupakan salah wujud negara Indonesia melaksanakan UUD 1945 untuk melindungi hak atas kelangsungan hidup anak, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Pemerintah mentargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024 angka prevalensi stunting pada balita dapat turun menjadi 14% di bawah yang ditargetkan World Helath Organization (WHO) yaitu 20%.
Laporan Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019 menunjukkan bahwa angka prevalensi stunting berada pada angka 26.7%. Dengan harapan angka prevalensi stunting dapat menurun setiap tahunnya sebesar 2.7% sehingga harapan di tahun 2024 angka prevalensi stunting dapat memenuhi target yang ditetapkan dalam RPJMN. Upaya penurunan angka prevalensi stunting harus memerlukan kerja keras.
Salah satu upaya pemerintah dengan membuat PPPS tentunya upaya lintas sektoral yang melibatkan seluruh stakeholders secara terintegrasi melalui koordinasi serta konsolidasi baik kegiatan pusat, daerah, hingga tingkat desa. Stunting merupakan masalah yang multidimensional dalam penanganannya memerlukan pendekatan multisekotral (tidak terbatas pada sektor kesehatan) dengan intervensi yang terintegrasi dan multipihak (melibatkan sektor non pemerintah).
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak akibat kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, dan tidak memadainya stimulasi pada anak. Faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting tidak hanya pada kemiskinan dan akses terhadap pangan, namun juga dipengaruhi oleh pola asuh dan pemberian makan pada balita. Apabila stunting tidak segera diatasi, maka akan memiliki dampak yang buruk bagi suatu negara. Dampak buruk tidak hanya pada kualitas generasi bangsa, namun juga dapat berdampak pada kerugian ekonomi.
World Bank pada tahun 2016 mencatat bahwa potensi kerugian yang disebabkan oleh kejadian stunting sekitar 2-3% yang dihitung dari Gross Domestic Product (GDP) setiap tahunnya. Akibatnya pada pertumbuhan penduduk, stunting dapat menurunkan produktivitas Sumber Daya Manusia (SDM). Hal tersebut dapat dilihat dari IPM dari United Nation Development Program (UNDP) tahun 2018 bahwa Indonesia di ranah Asean memiliki IPM setara dengan negara Vietnam, namun dibawah negara Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Pemerintah dalam PPPS sudah merumuskan pencegahan stunting dengan program 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Rumusan tersebut dibuat untuk memenuhi asupan gizi anak dan ibu agar seimbang. Tujuannya anak selalu sehat dan dapat tumbuh dan kembang dengan optimal dan ketika dewasa dapat produktif dan meraih pekerjaan dengan optimal. Sehingga perekonomian rumah tangga tidak mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan.
Pemerintah selama ini dalam mengatasi stunting pada balita dalam programnya selalu fokus dalam memberikan bantuan berupa pangan, sanitasi, dan air bersih serta edukasi remaja. Program itu dinilai berhasil karena sudah dapat menurunkan prevalensi stunting 30.8% pada tahun 2018 dan turun menjadi 27.7% hasil laporan dari SSGBI tahun 2018.
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah membuat masyarakat menjadi ketergantungan dan menjadi tidak berdaya dalam mengatasi masalah gizi pada anak. Walaupun PPPS membuat Tim Pendamping Keluarga (TPK) untuk membantu keluarga yang memiliki balita terverifikasi stunting. TPK yang terdiri dari bidan, kader Tim Penggerak Pembina Kejahteraan Keluarga (TP-PKK), dan kader Keluarga Berencana (KB).
TPK sebaiknya tidak hanya bertugas mendamping keluarga yang salah satu tugasnya dalam penanganan stunting dengan edukasi dan pemantauan fisik pada anak terverifikasi stunting. Namun juga harus membatu keluarga yang terverifikasi dalam pendampingan pemberdayaan keluarga. Pemberdayaan keluarga tersebut dapat berupa melatih orang tua untuk lebih produktif dalam perekonomian rumah tangga yang tidak mengesampingkan dalam perawatan anak. Sehingga penghasilan keluarga dapat meningkat, dengan harapan gizi balita dapat terbeli dan terpenuhi tanpa mengandalkan bantuan dari pemerintah. Pada akhirnya kemiskinan dapat teratasi, stunting dapat dicegah dan ditangani, SDM menjadi berkualitas, dan IPM pun juga akan meningkat.
Dalam hal pemberdayaan keluarga, tentunya pemerintah melalui pihak yang terkait dalam PPPS harus memberikan pelatihan ketrampilan / olahan bahan pangan yang memiliki daya beli pada TPK. Tujuannya untuk membantu pemberdayaan masyarakat terutama keluarga supaya menjadi produktif dalam meningkatkan perekonomian keluarga. Ketrampilan yang dilatihkan pada TPK seperti pembuatan kerajinan / makanan olahan dan manajemen pemasaran produk, dan cara membeli produk jadi untuk dijual kembali.
Pada saat TPK mendapingi masyarakat dalam memberikan edukasi dan pemantauan fisik pada anak balita yang terverifikasi stunting juga bisa langsung memberikan pelatihan ketrampilan / pengolahan pangan yang memiliki daya beli pada keluarga. Sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga tanpa mengesampingkan perawatan pada anak balita.
TPK dan masyarakat sekitar juga harus dapat mensosialisasikan dan membudayakan untuk memasarkan dan membeli produk hasil dari ketrampilan / makanan olahan tersebut dan atau membeli produk jadi yang dijual oleh tetangga sendiri. Walaupun hal tersebut terbilang sepele, namun pemberdayaan dapat membantu pemerintah dalam pengentasan kemiskinan serta mencegah dan penanganan stunting pada anak balita. Pencegahan dan penanganan stunting menjadi tanggung jawab kita bersama dan semua elemen masyarakat harus ikut berperan dalam PPPS. Sehingga seluruh elemen masyarakat patut menjadi “pahlawan stunting” karena sudah ikut andil dalam memerdekan hak asasi anak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.(**)
Related
- Prev Selamat dan Sukses Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 di Surakarta, 18-20 November 2022 dari Keluarga Besar EWRC Indonesia Keluarga Besar Jaringan Arwira Media Group Pendiri Eko Wiratno Direktur Eksekutif Dwi Suci Lestariana Direktur Marketing Ratno Susanto Direktur Riset Dadang Suhardi
- Next “ELDERLY ABUSE” IRONI DI TENGAH MODERNISASI DAN DIGITALISASI Oleh : Diyono, S.Kep.,Ns.,M.Kes Dosen Sekolah Tingi Ilmu Kesehatan Panti Kosala/Mahasiswa Program Studi Doktor (S3) Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat Minat Utama Promosi Kesehatan Sekolah Paskasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta