Isi Pidato Presiden Jokowi dalam Peresmian Pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan.
Yang saya hormati, Menteri Sekretaris Negara, Pak Wakil Menteri BUMN;
Yang saya hormati, Bapak Kapolri yang juga hadir pada siang hari ini;
Yang saya hormati, Gubernur Bank Indonesia sekaligus Ketua ISEI;
Yang saya hormati, (Pj) Gubernur Jawa Tengah, Wali Kota Solo;
Bapak-Ibu sekalian, seluruh keluarga besar ISEI yang saya hormati.
Saya melihat ISEI ini uangnya banyak karena tadi cabang yang teraktif saja di beri hadiah Rp200 juta. Saya melihat tadi dari sisi itu saja, “waduh kaya ini, kaya”.
Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Dunia sekarang ini menghadapi sebuah gejolak ketidakpastian tantangan yang tidak mudah. Semua negara mengalami termasuk kita, bahkan negara-negara maju kalau kita lihat sudah masuk, banyak yang masuk ke jurang resesi. Ini terakhir Inggris sudah masuk ke jurang resesi.
Dan, yang terakhir kita tahu 96 negara sudah menjadi pasiennya IMF (International Monetary Fund), ini juga sebuah angka yang kalau menurut saya sangat mengerikan. Oleh sebab itu, kita harus fokus dalam bekerja mengelola ekonomi kita.
Kalau Bapak-Ibu bertanya pada saya fokus kemana? Kalau saya, sekarang maupun ke depan kita harus fokus kepada pasar kerja, karena ke depan terlalu sedikit peluang kerja untuk sangat banyak tenaga kerja yang membutuhkan. Too few jobs for too many people, ini yang harus kita hindari. Sehingga, menurut saya jangan sampai kita terlalu larut dengan situasi global meskipun kita ikuti. Jangan terlalu kita terbawa oleh skenario ekonomi global meskipun kita juga harus selalu melihat angka-angka dan mengkalkulasi dengan perhitungan-perhitungan yang cermat.
Karena kita tahu nanti 2030-an kita akan mendapatkan bonus demografi. Bisa menjadi sebuah kekuatan tetapi bisa menjadi beban. Inilah tantangan paling besar yang akan melompatkan kita menjadi negara maju atau tidak.
Sehingga, sekali lagi bonus demografi ini membutuhkan pembukaan kesempatan kerja yang sebesar-besarnya. Padahal saat ini untuk membuka lapangan kerja itu kita menghadapi tantangan yang sangat-sangat berat, semua negara mengalami tantangan ini.
Yang pertama, tantangan yang pertama, perlambatan ekonomi global. Kita tahu 2023 dari World Bank ini global hanya tumbuh 2,7 persen. Kemudian, 2024 ini diperkirakan hanya muncul angka 2,6 persen. Tahun depan dari World Bank muncul angka naik sedikit 2,7 persen. Tetapi, masih jauh dari yang diharapkan semua negara.
Dan, kita tadi seperti yang disampaikan oleh Bapak Ketua Umum, bisa tumbuh di kurang lebih 5,1 persen. Ini sebuah hal yang patut kita syukuri karena ekonomi global hanya tumbuh 2,6 – 2,7 persen.
Dan, kalau kita lihat juga Bank Sentral hampir semua negara memperketat kebijakan moneternya karena mengerem negara inflasi tidak semakin naik. Artinya apa kalau moneter di rem? Artinya, industri pasti akan turun produksinya, otomatis perdagangan global juga akan turun kapasitasnya.
Jadi, yang pertama, perlambatan ekonomi global. Tantangan kita di situ.
Yang kedua, peningkatan otomasi di berbagai sektor kerja. Semua sekarang ini mulai masuk semuanya, ke otomasi semuanya. Awal kita hanya otomasi mekanik, kemudian sekarang muncul AI (Artificial Intelligence), muncul analis, muncul otomasi analitik. Setiap hari muncul hal-hal yang baru.
Dan, kalau kita baca 2025 pekerjaan yang akan hilang itu ada, maaf 85 juta (pekerjaan), pekerjaan akan hilang 85 juta, sebuah jumlah yang tidak kecil. Kita di tuntut untuk membuka lapangan kerja, justru di 2025 (akan ada) 85 juta pekerjaan akan hilang, karena tadi adanya peningkatan otomasi di berbagai sektor.
Yang ketiga, tadi yang pertama perlambatan ekonomi global. Yang kedua, peningkatan otomasi. Yang ketiga, gig economy. Hati-hati dengan ini, ekonomi serabutan, ekonomi paruh waktu. Tetapi, kalau tidak di kelola dengan baik ini akan menjadi tren, perusahaan lebih memilih pekerja independen, perusahaan lebih memilih pekerja yang freelancer, perusahaan lebih memilih kontrak jangka-jangka pendek untuk mengurangi risiko ketidakpastian global yang sedang terjadi. Ini trennya kita lihat menuju kesana dan yang bekerja itu bisa bekerja di sini, bisa bekerja di negara lain. Sehingga, sekali lagi kesempatan kerja semakin sempit dan semakin berkurang.
Oleh sebab itu, saya berharap dari ISEI tadi sudah menyampaikan kajiannya ada sebuah desain tetapi desain taktis, rencana tetapi rencana taktis, strategi tetapi strategi yang taktis dan detail. Kalau ada ini kita harus belok kemana, kalau kita di cegat di sini harus menuju kemana, itu hal-hal yang taktis seperti ini yang kita perlukan, bukan rencana makro yang sulit di implementasikan dalam situasi yang sangat-sangat sulit.
Dan, menurut saya, tadi sudah disampaikan oleh Pak Gubernur BI, hilirisasi menjadi kunci. Coba kita lihat, satu, perusahaan nikel, urusan nikel yang sering saya ceritakan. Karena ini memang sebuah keberhasilan kita meningkatan nilai tambah nikel, dari bahan mentah nickel ore masuk ke NPI – Nickel Pig Iron, masuk lagi ke nickel matte. Kemudian masuk ke stainless steel, dan masuk ke turunan-turunan baik garpu, sendok, jarum suntik dan ratusan turunan lainnya yang ini masih dalam proses semuanya. Tetapi, paling tidak sekarang kita sudah sampai ke stainless steel.
Kemudian, yang nickel ore, ada lagi nickel ore ke smelter ke East PAL, ke prekursor, ke ketot, kemudian masuk lagi ke battery cells. Sudah kejadian dan kita sudah punya industrinya untuk nanti kalau kapasitas battery cells-nya mencukupi, sekarang ini baru kira-kira 180 ribu mobil yang bisa di produksi dengan battery cells produksi kita sendiri, kalau nanti bisa meningkat menjadi juta itu kita baru memiliki daya saing yang kuat dengan negara-negara lain.
Kemudian, tembaga, nikelnya sudah masuk ke tembaga. Setelah nikel kita stop tahun 2020, tembaga dua tahun yang lalu juga kita stop, minggu depan akan ada dua smelter besar yang investasinya kurang lebih Rp50 triliun – Rp60 triliun sudah beroperasi yaitu di Amman di Sumbawa, kemudian Freeport di Gresik.
Hati-hati kalau kita bicara Freeport, sekarang bukan miliknya Amerika, karena orang masih “wah Freeport, Freeport”. Itu (Freeport) sudah milik Indonesia, itu sudah di miliki oleh MIND ID (PT Mineral Industri Indonesia) 51 persen. Dulu kita hanya punya 9 persen, dan sekarang sudah kita miliki 51 persen, dan sebentar lagi akan menjadi 61 persen, pokoknya kita terus ambil.
Dari tembaga, yang saya lihat di lapangan tembaga menjadi barang-barang yang sudah jadi cover foil, kabel, rangka mobil. Dan, yang ketiga bauksit, hilirisasi di bauksit. Sudah jadi, yang satu di Bintan, kemudian minggu saya juga meresmikan di Mempawah di Kalimantan Barat, jadi lagi satu berarti ada dua. Dari sini nanti akan jadi yang di Mempawah ini miliknya BUMN, akan jadi aluminium, velg mobil, body pesawat, semuanya.
Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Pada posisi normal, pada posisi dunia normal kita tidak mungkin melakukan ini. Pasti akan di cegat oleh negara-negara maju, pasti itu. Bahkan waktu akan mengambil Freeport saja banyak yang membisiki kepada saya “Pak, hati-hati, Papua bisa lepas. Pak, hati-hati Bapak bisa digulingkan. Pak, hati-hati”. Jadi, hilirisasi ini bukan barang yang gampang. Karena Freeport sendiri sudah 55 tahun beroperasi enggak pernah mau membangun yang namanya smelter karena yang di sana itu bukan hanya tembaga, ada barang lain yang lain yang harganya lebih tinggi yaitu emas.
Nah, nanti kita punya smelter sendiri di Gresik, tahu kita berapa ton emas setiap tahun yang hilang dari tanah air Indonesia selama 50-an tahun. Perkiraan saya per tahun mungkin 40 sampai 50 ton, baru perkiraan, nebak-nebak. Tetapi nanti kalau sudah produksi baru kita tahu betul oh ada emasnya sekian ton per tahun. Jadi, kalau tadi bisikkan ke saya tadi ya karena barang yang tadi saya sampaikan.
Tetapi, Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Tolong ini betul-betul ISEI bisa mendesain rencana dan strateginya. Yang saya ingin adalah hilirisasi yang padat karya yaitu rumput laut – seaweed yang belum di sentuh secara manajemen yang baik. Karena dari sinilah nanti bisa turunannya baik ke pupuk organik, baik ke agar-agar, baik ke kosmetik, baik untuk tepung dan juga untuk minyak pesawat terbang, sekarang ini bisa ada dari rumput laut.
Kita tahu Indonesia memiliki pesisir yang paling panjang nomor dua di dunia, 81 ribu kilometer. Ini sebuah potensi besar tetapi memang harus di desain, harus direncanakan, harus di buat strategis yang benar sehingga nanti hasilnya bisa ketemu.
Pangan yang lainnya menurut saya yang juga harus dihilirisasikan adalah kopi. Kopi ini saya cek, kita punya berapa hektare sih kopi? 1,2 juta hektare. Saya cek di lapangan, berapa sih produksi per hektare kita? Hanya kurang lebih 2 ton per hektare. 2 lebih sedikit, 2,3 hektare – 2,5 hektare per hektare. Padahal Vietnam 1 hektare bisa memproduksi 8, menghasilkan 8 sampai 9 ton per hektare, jauh sekali, masa kita kalah dengan Vietnam padahal duluan kita. Permintaan semakin naik, harga semakin naik setiap tahun tetapi tidak pernah kita urus. RnD (Research and Development) kita, research kita lemah di sini.
Dan juga, kakao, kakao kita memiliki 1,4 juta hektare. Industrinya ada, tetapi bahan mentahnya kakaonya kurang sehingga kita justru impor, salah besar lagi. Dan yang lain-lainnya, masih banyak. Ada nilam, yang ini turunannya akan memberikan nilai tambah yang sangat besar.
Saya hanya ingin memberikan sebuah ilustrasi kembali ke nikel tadi. Nikel di tahun 2015 ekspor kita US$3 billion (US$3 miliar) dalam 1 tahun. Artinya, Rp45 triliun, Rp45 triliun. Kemudian, setelah kita stop 2021 muncul angka dari Rp45 triliun muncul Rp340 triliun. 2022 muncul Rp520 triliun, dan 2023 muncul angka Rp520 triliun. Lompatannya coba.
Ada yang menyampaikan pada saya “Pak itu yang untung kan perusahaan, Pak. Rakyat dapat apa?”. Jangan keliru, kita pungut pajak dari sana, pajak perusahaan, pajak karyawan, bea ekspor, pajak ekspor, bea keluar, belum PNBP – Penerimaan Negara Bukan Pajak, sangat besar sekali. Saya berikan ilustrasi saja, untuk Minerba (Mineral dan Batubara) tidak hanya nikel tetapi Minerba. Di 2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak kita memperoleh Rp29 triliun. Di 2023 kita mendapatkan PNBP-nya Rp172 triliun, dari Rp29 triliun melompat ke Rp172 triliun, itu pajaknya saya belum mendapatkan secara detail. Tetapi, saya yakin juga akan melompat berkali-kali.
Saya rasa penting sekali masukan – input, desain rencana strategi yang dirumuskan oleh ISEI dalam kongres ini. Dan, menjadi pegangan bagi pemerintah ke depan, bukan pemerintahan saya lagi, pemerintah ke depan karena sebulan lagi saya sudah pensiun. Sehingga, betul-betul arah menuju ke Indonesia emas itu betul-betul bisa kita raih dengan lebih cepat.
Saya rasa itu yang ingin saya sampaikan.
Dan, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, pada siang hari ini secara resmi saya buka Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.