Ketika Wine Jadi Simbol Gaya Hidup Urban di Indonesia Oleh: Dr. Anindhyta Budiarti, S.E., M.M Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
Segelas wine kini bukan sekadar minuman beraroma anggur fermentasi. Ia telah menjelma menjadi simbol gaya hidup modern, status sosial, sekaligus penanda identitas baru masyarakat urban Indonesia. Dari restoran mewah di Jakarta hingga beach club di Bali, wine hadir bukan cuma untuk dinikmati, tapi juga untuk ditampilkan — di meja makan, di feed Instagram, dan dalam gaya hidup yang ingin tampak berkelas.
Generasi profesional muda di kota-kota besar kini punya pandangan berbeda soal wine. Bagi mereka, cabernet sauvignon atau chardonnay bukan lagi “minuman asing”, melainkan bagian dari pergaulan global. Menikmati wine saat makan malam bisnis, acara komunitas, atau sekadar wine tasting di hotel bintang lima menjadi bentuk ekspresi diri. “Minum wine” bukan tentang mabuk, tapi tentang gaya, pengalaman, dan keanggunan.
Media sosial ikut memperkuat tren ini. Unggahan tentang wine appreciation class atau fine dining dengan wine pairing kini berseliweran di Instagram. Bagi banyak orang urban, foto dengan segelas red wine di tangan bisa bermakna: “Saya sukses, modern, dan tahu menikmati hidup.”
Karena iklim tropis, Indonesia tidak cocok untuk kebun anggur skala besar. Akibatnya, sebagian besar wine di sini adalah impor — datang dari Prancis, Australia, Italia, Chile, hingga Selandia Baru.
Menariknya, meski harga wine di Indonesia bisa dua hingga tiga kali lipat dari harga di negara asal (karena pajak dan bea masuk bisa mencapai 150%), permintaannya justru terus meningkat. Data beberapa distributor menunjukkan pertumbuhan konsumsi mencapai 8–10% per tahun. Kota-kota seperti Jakarta, Bali, Surabaya, dan Bandung menjadi pasar utama, terutama di kalangan ekspatriat, wisatawan premium, dan profesional muda.
Pemain besar seperti PT Mandiri Graha Persada dan PT Pantja Artha Niaga kini tak sekadar menjual wine, tapi juga menjual prestige. Mereka mengelola distribusi eksklusif ke hotel, restoran, dan wine lounge mewah. Sementara itu, platform daring seperti Minuman.com, Dewaz, dan Red & White membuka jalur baru lewat e-commerce dengan sistem verifikasi usia. Konsumen bisa memesan wine dari rumah tanpa harus datang ke toko, sesuatu yang dulu dianggap tabu.
Strategi edukasi juga makin digencarkan. Acara tasting event, kelas “kenali wine favoritmu”, hingga paket wine & dine experience menjadi cara cerdas untuk membangun loyalitas konsumen. Di sini, edukasi dan pengalaman berjalan beriringan — membuat wine terasa lebih dekat, bukan lebih eksklusif.
Bali dan Jakarta: Pusat Budaya Wine Indonesia
Dua kota ini jadi barometer tren konsumsi wine di Tanah Air. Bali dengan ekosistem pariwisata premium-nya menjadi “panggung” utama bagi budaya wine pairing dan fine dining. Hampir semua restoran top di kawasan Seminyak, Ubud, dan Canggu menawarkan daftar wine yang dipilih langsung oleh sommelier profesional. Jakarta tak mau ketinggalan. Banyak hotel dan restoran di ibu kota kini memiliki wine lounge khusus untuk komunitas pecinta wine. Dari eksekutif muda, pebisnis, hingga sosialita, semuanya punya ruang untuk mengekspresikan selera lewat segelas anggur berkualitas.
Surabaya dan Bandung juga mulai mengikuti. Kehadiran private club dan wine bar eksklusif menunjukkan bahwa budaya minum wine kini tidak lagi milik segelintir orang, melainkan bagian dari urban experience yang makin luas.
Satu hal menarik: semakin banyak orang tidak hanya ingin minum, tapi juga paham apa yang mereka minum. Varietas anggur, suhu penyajian, hingga cara menyimpan wine mulai dikenal di kalangan pecinta wine Indonesia.
Mereka belajar bahwa menikmati wine bukan soal “mabuk elegan”, tapi memahami proses, aroma, dan karakter. Dari sinilah muncul budaya baru: drinking with knowledge. Wine menjadi simbol peradaban rasa — mengajarkan bagaimana menikmati sesuatu dengan perlahan, penuh kesadaran, dan penuh cerita.
Regulasi Ketat dan Stigma Sosial
Namun, di balik gemerlap pasar wine, tantangan tetap besar. Regulasi perizinan distribusi alkohol di Indonesia sangat ketat dan berbeda antar daerah. Pajak tinggi, kuota impor terbatas, serta syarat promosi yang rumit membuat bisnis ini tidak mudah dijalankan. Selain itu, masih ada stigma sosial terhadap alkohol, termasuk wine. Sebagian masyarakat belum membedakan antara konsumsi berlebihan dan apresiasi budaya. Padahal, di banyak negara, wine justru identik dengan gaya hidup sehat — diminum dalam porsi kecil, dinikmati pelan-pelan, dan dipadukan dengan makanan.
Kondisi ini menjadikan pasar wine di Indonesia tetap niche, tapi justru di situlah daya tariknya. Bagi pebisnis yang mampu menggabungkan kreativitas, kepatuhan hukum, dan strategi branding elegan, potensi pasarnya sangat besar.
Simbol Modernitas dan Peluang Bisnis
Kini, wine di Indonesia tidak hanya berbicara tentang alkohol, tapi tentang aspirasi dan identitas kelas menengah baru. Ia menjadi simbol gaya hidup modern, kesadaran akan kualitas, dan cara baru menikmati hidup. Di tangan generasi urban, segelas wine bukan lagi “produk impor mahal”, melainkan pengalaman budaya yang melibatkan rasa, keindahan, dan cerita di baliknya. Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan masyarakat yang makin terbuka, pasar wine di Indonesia bukan hanya menjanjikan secara bisnis, tapi juga menarik sebagai fenomena sosial.
Wine kini bukan lagi sekadar minuman di gelas — tapi cermin perubahan cara berpikir, cara hidup, dan cara menikmati kehidupan itu sendiri.








